Jumat, 12 September 2014

APA ITU IMAN?


Dalam karya klasiknya, Ihya ‘Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengemukakan dua pengertian iman.Pertama, pengertian majazi (yaitu, bayang-bayang atau ragu), yaitu ketika iman diartikan sebagai percaya. Keimanan di sini merupakan keimanan taklid. Kedua, pengertian haqiqi, yaitu ketika iman diartikan iman sebagai berwujud cahaya. Lebih jauh, Al-Ghazali pun membagi tiga tingkatan iman:

1. Iman awami, yaitu imannya orang-orang yang awam, yang semata-mata taqlid, inilah iman yang dipahami sebagai percaya. (Letaknya di lisan.)

2. Iman mutakalimin, yaitu imannya para ahli kalam yang bercampur aduk dengan berbagai macam dalil, dan tingkatannya mendekati tingkat keimanan orang awam. (Didukung denganhujjah.)

3. Iman ‘Arifin, yaitu imannya para al-mu‘min, orang-orang telah ma’rifat kepada Allah SWT. Inilah tingkat keimanan dari orang-orang yang menyaksikan dengan nurul yaqin. (Cahaya Allah yang memancar di qalb orang yang Allah kehendaki bersih dari segala sesuatu yang tidak disukai-Nya [dosa])

Jenis iman berupa cahaya Allah inilah hakikat iman yang sebenarnya. Dan hanya iman jenis ini saja yang akan dibicarakan dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya. Asma dari Allah yang segera dapat terlihat di sini, antara lain, adalah: al-Ghafur (Maha Pengampun), al-Rahim (Maha Rahim), al-Rahman (Maha-Rahman), al-Nur (Maha Cahaya), al-Mu’miin (Maha Memiliki Keimanan).

IMAN CAHAYA

Allah menyatakan bahwa Dia merupakan Wali (pengayom, pelindung) bagi mereka yang beriman:

“Allah wali orang-orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya…” (QS Al Baqarah [2]: 257)

Cahaya merupakan lawan dari kegelapan:

“… dan Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap-gulita kepada cahaya dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka kepada shirath al-mustaqim” (QS Al Maai-dah [5]: 16)

“… supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan menuju cahaya …” (QS Al Ahzab [33]: 43)

“… Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki …” (QS An Nur [24]: 35)

Adalah Allah, An-Nur yang merupakan Cahaya bagi petala langit dan bumi, tiada sumber cahaya lain:

“… barangsiapa tidak diciptakan baginya cahaya oleh Allah maka tiada baginya cahaya sedikitpun.” (QS An Nur [24]: 40)

Cahaya keimanan merupakan sesuatu yang terus dibawa ketika nafs melakukan perjalanan menembus berbagai alam. Inilah cahaya yang “bersinar di hadapan mereka”:

“… pada hari ketika kamu melihat orang beriman laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS Al Hadid [57]: 22)

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap-gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang-orang al-kafirin itu memandang baik apa yang mereka lakukan.” (QS Al An’am [6]: 122)

Pada sebuah hadisnya dengan seorang sahabat Anshar, Haritsah ra, Rasulullah saw menerangkan tentang keimanan berupa cahaya atau ‘iman billah ini:

Suatu ketika Rasulullah saw sedang berjalan-jalan. Beliau bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernama Haritsah. Rasulullah saw bertanya, “Bagaimana keadaanmu, ya Haritsah?” Haritsah menjawab, “Hamba sekarang benar-benar menjadi seorang mukmin billah.” Rasulullah menjawab, “Ya Haritsah, pikirkanlah dahulu apa yang engkau ucapkan itu, setiap ucapan itu harus dibuktikan!” Haritsah menjawab, “Ya Rasulullah, hawa nafsu telah menyingkir, kalau malam tiba hamba berjaga untuk beribadah kepada Allah SWT, dan di waktu siang hari hamba berpuasa. Sekarang ini hamba dapat melihat al-‘Arsy Allah tampak dengan jelas di depan hamba. Hamba dapat melihat orang-orang di al-Jannah saling kunjung mengunjungi. Hamba dapat melihat penghuni an-Nar berteriak-teriak.” Maka Rasulullah saw berkata, “Engkau menjadi orang yang imannya dinyatakan dengan terang oleh Allah SWT di qalb-mu.” (Hadits Riwayat Anas Bin Malik)

TEMPAT IMAN CAHAYA ITU DI QALB

Ayat berikut ini menjelaskan bahwa iman itu bukan sekadar pernyataan di lisan seseorang, melainkan apa yang Allah berkenan untuk dilimpahkan-Nya kepada qalb seseorang.

Orang-orang Arab Badwi berkata, “Kami telah beriman.”Katakanlah, “Kalian belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah berserah diri’ (aslamna), karena iman itu belum masuk ke dalam qulubkalian, dan jika kalian taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi (pahala) amal-amal kalian sedikit pun. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat [49]: 14)

Maka apakah orang-orang yang dibuka Allah shudur-nya untuk berserah diri lalu ia mendapat nur dari Rabb-nya (sama dengan orang yang membatu hatinya?) Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu qalb-nya untuk dzikril’lah (mengingat Allah). Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS Az-Zumar [39]: 22)

Pembukaan dada untuk berserah diri yang kemudian diikuti dengan pencahayaan oleh Allah An-Nuur itu memperlihatkan proses pengimanan awal, yang dijelaskan tanda-tandanya oleh Rasulullah saw berikut ini:

Tatkala Rasulullah saw membaca firman Allah Ta’ala: “Barangsiapa dikehendaki Allah memberi petunjuk kepadanya, niscaya dibuka-Nya shudur orang itu untuk berserah diri.” (QS Al-An’am [6]: 125)

Lalu bertanya seseorang kepada Nabi saw, “Apakah pembukaan itu?”
Nabi saw menjawab, “Sesungguhnya cahaya (nur) itu apabila diletakkan dalam qalb, maka terbukalah dada (shudur) menerima cahaya tersebut dengan seluas-luasnya.” Berkata lagi orang itu, “Adakah tanda-tandanya?” Nabi saw menjawab, “Ya, ada! Merenggangkan diri dari negeri tipu daya, kembali ke negeri kekal dan bersedia untuk mati sebelum datangnya mati.”

Keberhasilan proses pensucian nafs pada tingkatan-tingkatan berikutnya kemudian diikuti dengan pelimpahan-pelimpahan cahaya keimanan yang lebih lanjut:

“… Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam qalb-mu.” (QS Al-Hujurat [49]: 7)

“… agar bertambah keimanan mereka bersama keimanan yang telah ada …” (QS Al-Fath [48]: 4)

Pengimanan paripurna yang Allah anugerahkan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tergolong mereka yang dikasihi-Nya, ditandai dengan ayat berikut:

“… mereka itulah orang-orang yang telah dituliskan dalam qulub mereka al-Iman.” (QS Al Mujadilah [58]: 22)

Hanya qalb-lah satu-satunya perangkat pada manusia yang dapat menerima pencahayaan pengimanan, sebagaimana dirumuskan dalan Hadis Qudsi yang terkenal ini:

“… tidak cukup untuk-Ku bumi-Ku dan langit-Ku, tetapi yang cukup bagi-Ku hanyalah qalbhamba-Ku yang mukmin.”

Qalb yang diterangi cahaya iman itu terang bagaikan rembulan. Sehingga mulai tampaklah langit (samaai’ = nafs = jiwa), dan permukaan bumi (ardh = jasad).

FUNGSI IMAN

Sebagai sarana diturunkannya petunjuk (hudan)

“… dan barangsiapa yang beriman billah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada qalb-nya.” (QS At Taghabun [64]: 11)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanan mereka.” (QS Yunus [10]: 9)

“… dan sesungguhnya Allah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada shirath al-mustaqim.” (QS Al Hajj [22]: 54)

Melalui iman cahaya, Allah mengajarkan kebenaran ayat-ayat-Nya (baik yangqur’aniyah maupun yang kauniyah) kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya, sehingga ia dapat menyaksikan kerajaan langit (alam malakut atau alam jiwa), menyaksikan ayat-ayat Allah tanpa terbatasi ruang dan waktu, dengan seizin-Nya; serta dapat memahami pelik-pelik dan hakikat-hakikat agama dengan penuh keyakinan.

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di dalam segenap ufuk dan di dalam diri mereka sendiri, sampai jelaslah bagi mereka bahwa itu adalah al-Haqq.” (QS Fushshilat [41]: 53)

“Sebenarnya itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (QS Al Ankabut [29]: 49)

“Tidak menyentuhnya melainkan yang disucikan (al-muthaharun).” (QS Al Waqi’ah [56]: 79)

Dengan bantuan cahaya-cahaya-Nya Allah memperkenalkan Diri-Nya, dan memperlihatkan cahaya-cahaya kesucian, sehingga seorang mukmin dapatma’rifat kepada-Nya serta beriman kepada para utusan (rasul)-Nya.

“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah para shiddiqin dansyuhada di sisi Rabb mereka …” (QS Al Hadiid [57]: 19)

Bagaimana peran iman cahaya ini dalam menerima dan menyikapi apa-apa yang Allah turunkan dilukiskan dalam uraian seorang sahabat, Ibnu Umar ra, berikut ini:

“Kita telah hidup sekejap mata. Ada diantara kita memperoleh iman sebelum Al-Quran, lalu turunlah surat Al-Quran itu. Maka dipelajarinyalah yang halal dan yang haram, yang disuruh dan yang dilarang, dan apa yang dia harus berhenti sampai di situ. Aku sudah melihat beberapa orang. Salah seorang di antara mereka didatangkan Al-Quran sebelum iman, maka dibacanyalah semuanya, dari permulaan sampai ke penghabisan Kitab Suci, dengan tidak diketahuinya apa penyuruhnya dan apa pelarangnya. Dan apa yang seyogyanya dia berhenti padanya. Maka dihamburkannya apa yang dibacanya itu seperti menghamburkan kurma busuk.”

“Adalah kami para sahabat Nabi saw diberikan kepada kami iman sebelum Al-Quran. Dan akan datang sesudah kamu, suatu kaum yang diberikan Al-Quran sebelum iman. Mereka menegakkan huruf-huruf Al-Quran dan menyia-nyiakan batas-batas dan hak-hak dari Al-Quran, dengan mengatakan: ‘Kami sudah baca, siapakah yang lebih banyak membaca daripada kami? Kami sudah tahu, siapakah yang lebih tahu daripada kami?’ Maka begitulah nasib mereka.”




KESIMPULAN

Iman itu wujudnya cahaya, tempatnya di dalam qalb dan fungsinya untuk menerima petunjuk. Seperti halnya Anda, yang Allah anugrahi penglihatan dan tidak buta, Anda bisa melihat dan membaca tulisan ini dan lingkungan sekitar anda karena, salah satunya, ada cahaya yang jatuh ke mata Anda.

Nah, sebagaimana halnya tubuh kita memiliki mata, maka demikian pulalah jiwa (nafs) kita. Apabila tubuh kita melihat alam yang satu realitas dengan tubuh material ini, maka nafs, sebagai bagian dari alam malakut, melihat ke realitas malakutiyyah. (Ini bukan merujuk kepada mereka yang biasa melihat jin, karena dukun yang menggeluti dunia musyrik itu pun bisa melihat ke alam jin yang sebenarnya setingkat dengan realitas lahiriah kita, namun hanya beda 'channel" saja.)

Karena itu, pembicaraan tentang mata hati itu bukanlah pembicaraan yang metaforik. Kenapa saat ini kita tidak bisa melihat realitas malakutiyyah? Karena itu berarti tidak ada "cahaya" di qalb kita yang membuat nafs kita "hidup" dan bisa melihat. Tak ada "cahaya" dalam qalb itu

Dan barangsiapa yang ditunjuki Allah, dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa yang Dia sesatkan maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Dia. Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu dan pekak. Tempat kediaman mereka adalah neraka jahanam. Tiap-tiap kali nyala api Jahanam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya. (Al-Isra' [17]: 97)
 

--Alfathri Adlin--


Tidak ada komentar:

Posting Komentar