Senin, 15 September 2014

Linggau


Tersebutlah seorang pemuda bernama “Linggau”. Pemuda yang sama sekali tak pernah tampan di mata para kembang desa. Pemuda yang keras kepala, teguh pendirian dan pembangkang tentunya. Nama pemuda tersebut terdengar hingga ke lima desa tetangga. Pemuda yang pada saat dilahirkan, semua penduduk berharap padanya. Bagaimana tidak, Linggau adalah anak semata wayang dari seorang cendikiawan di desa tersebut. Ayahnya orang yang sangat dihormati dan disegani di kampungnya. Setiap musyawarah untuk menyelesaikan masalah ataupun menyangkut perkembangan desanya, pendapat dan nasehat Ayahnya selalu di dengarkan dan menjadi pertimbangan untuk sebuah keputusan.
Nama Linggau sendiri diambil dari nama sungai yang membelah desa tempat tinggalnya. Linggau lahir lebih cepat dari perkiraan orang-orang. Saat itu ramai sekali orang-orang mandi sungai desa tersebut. Termasuk ada Ayah dan Ibunya yang tengah mengandung dia. Ditengah-tengah hiruk pikuk kesenangan warga, tiba-tiba Laras berteriak minta tolong kepada suaminya. Rupanya Laras hendak mau melahirkan. Menurut perkiraan, Laras akan melahirkan kira-kira satu bulan kedepan. Tapi tidak , perkiraan tersebut meleset kiranya. Dan ramailah para warga mengerumuni istri dari cendikiawan desa tersebut. Tidak akan cukup waktu untuk membawa pulang Laras kembali ke pedesaan. Akhirnya setelah bermusyawarah secara singkat, warga sepakat akan melakukan persalinan hari itu juga. Akhirnya Laras digotong menuju sebuah pondok kecil yang tak jauh dari tepi sungai. Di sanalah Laras melahirkan anaknya. Dan lahirlah seorang anak bernama Linggau. Seorang anak yang diharapkan kelak mewarisi kepintaran, kecerdasan, dan kebajikan dari Ayahnya yang bernama  Mahendra.
Tapi agaknya nasib berkata lain, pepatah yang menyebutkan : “buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya” itu sama sekali tak berlaku padanya. Linggau yang diharapkan mewarisi setiap sifat dari Ayahnya justru berbeda seratus delapan puluh derajat. Awalnya Linggau pada masa kanak-kanaknya termasuk anak yang pintar, rajin, patuh dan santun baik kepada ayah ibunya maupun kepada orang lain. Tapi itu semua berubah saat Ayahnya ditemukan seorang warga di tengah hutan belantara terbujur kaku tak bernyawa. Sampai sekarang tidak ada yang tahu apa penyebab kematian ayahnya tersebut. Linggau yang saat itu masih kecil dan tak tahu apa-apa hanya terpana menyaksikan jasad Ayahnya di kubur ditanah kosong yang tak jauh dari tepi sungai linggau. Linggau yang masih kecil bertanya pada Ibunya : “Ibu… kenapa Ayah dimasukkan kedalam tanah? Apakah Ayah akan kembali? tanya Linggau dengan begitu lugunya. Sang Ibu hanya terpana dan tak bisa menjawab apa-apa kepada anaknya, selain hanya terduduk, bersimbah air mata sambil memeluk anak semata wayangnya.
Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan beranjak dan tahun demi tahu berganti pula. Linggau kini tinggal berdua bersama Ibunya. Melewati masa suram itu dengan apa adanya. Laras memutuskan untuk tidak menikah lagi, saking setia dan cintanya dia kepada suaminya. Setiap lamaran yang datang kepadanya, baik dari penduduk biasa maupun dari saudagar kaya, semua itu dia tolak. Tak terhitung berpuluh-puluh pemuda maupun yang sudah beristri patah hati dibuatnya. Laras bertekad membesarkan anaknya sendirian, tanpa bantuan orang lain. Namun apalah daya nasib berkata lain, Linggau yang dia harapakan menjadi pemuda seperti suaminya tiba-tiba menjadi pembangkang, kerasa kepala dan sering membuat ulah didesanya.
Seperti kejadian saat ini …
Saat Laras tengah asyik merapikan pakaian didalam lemarinya, tiba-tiba dia dikejutkan dengan sebuah teriakan yang memanggil-manggil namanya.
“Laras. Laaraaas !!! keluar kau dari rumahmu.” Laras menghelus dadanya dan berbisik pelan ; “Oh Tuhan, dosa apa lagi yang diperbuat anakku?” sambil melangkah menuju keluar dan menuruni anak tangga rumahnya satu persatu.
“Laras !!! Lihat apa yang telah diperbuat anakmu terhadapku. Mukanya lebam dan hidungnya berdarah. Dimana anakmu yang nakal itu, akan kupukul dia dengan sapuku ini.” teriak wanita tua itu dengan sangat emosi.
“Ma…af  mak. Maafkan atas kelakuan anak saya.” ucap Laras dengan sedikit menundukkan badannya.
“Maaf. Maaf !!! Setiap anakmu melakukan kesalahan, kau cuma bisa berkata maaf. Apakah seperti ini ajaran dari mendiang suamimu yang kata orang mulia hatinya itu? ucap wanita tua itu dengan sedikit tercekat dan agaknya dia sedikit menyesal karna telah membawa-bawa suami laras yang telah tiada itu.
Laras tertunduk. Tak terasa setetes air bening keluar dari mata indahnya, membasahi pipinya. “Lantas apa yang bisa saya lakukan Mak.? Selain menghimpun beribu-ribu maaf atas kelakuan anak saya mak. Kami tak memiliki apa-apa lagi untuk diberikan, mak. Sekali lagi maafkan atas tindakan anak saya terhadap anak mak. Biar nanti saya menghukumnya mak.” ucap laras dengan mengiba sambil menyeka air matanya.
“Ah sudahlah. Percuma aku disini, membuang waktuku saja. Uruslah anak kau itu. Lain kali tiada maaf  bagi kau dan anakmu itu.” timpal wanita tua dan pergi sambil menjijit telinga kanan putranya. Anaknya mencicit pelan “ aduuuuuh … sakit mak”.

Tinggallah Laras terpaku sendirian. Dan kembali masuk kerumahnya. Tampaknya dia tahu anaknya tidak akan pulang hari ini. Sudah menjadi kebiasaan setelah membuat rusuh, anaknya tersebut akan menghilang dalam beberapa hari ini.
Sementara ditempat berbeda Linggau tengah asyik duduk bersandarkan sebuah dahan pohon besar. Tak tampak dari raut wajahnya sama sekali perasaan bersalah maupun menyesal sedikitpun, setelah dia berhasil membuat wajah seorang pemuda menjadi lebam dan hidungnya berdarah. Dia tampak santai dan tetap riang, sambil bersiul-siul tak tentu arah. Sementara hari sudah petang dan sebentar lagi akan gelap. Ditengah keasyikannya bersiul ria sambil memejamkan mata, dia dikagetkan oleh suara seorang wanita yang sangat akrab sekali ditelinganya. “ Ah … akhirnya dia datang juga.” bisiknya dalam hati.
“Kak. Kak Linggau. Turunlah, aku membawakan bekal makanan untukmu. Sebentar lagi akan gelap, dan aku harus segera pulang.” teriak gadis itu menyuruh Linggau segera turun.
Linggau membuka matanya dan dengan gesit dia melompat menuruni pohon besar tersebut. “Ah… terima kasih dek Ratih, kau baik sekali kepadaku.”
“Aku yang seharusnya berterima kasih kepadamu kak. Karena sudah menyelamatkanku dari perbuatan jahat si Madun.”
“Ah … sudah menjadi kewajibanku untuk menjaga kau Ratih. Bukankah Ayah kita merupakan sahabat dekat semasa hidup mereka? Jadi kau tak usah sungkan jika meminta pertolongan kepadaku. Sudah sana. Pulanglah segera. Nanti nenek kau khawatir kepada kau.”
“Iya kak. Kak linggau tidak pulang?” tanya ratih dengan sedikit cemas.
“Tidak. Ah sudahlah kau tak perlu memikirkan aku. Aku sudah dewasa dan bisa menjaga diri. Sudah sana cepat pulang.” timpal linggau dengan sedikit tegas.
“Baiklah kak.” Sebelum Ratih membalikkan badan, dia dan linggau sempat saling bertatapan. Tatapan yang tak biasa tapi penuh tanda tanya. Ratih berjalan pelang meninggalkan linggau sendirian. Meninggalkan linggau dengan sebuah perasaan yang menyangkut dihatinya. Tapi entah perasaan apa itu. Dia tak mengenal perasaan itu. Begitu juga dengan Ratih. Seperjalanan dia menuju rumahnya, tak henti-hentinya dadanya sesak. Entah kenapa. Jantungnya tiba-tiba saja berdegup kencang dan tak pelak sepanjang malam yang di fikirkannya hanya Linggau seorang. Sementara Linggau mulai melahap makanan yang dibawa Ratih tadi. Tampak sekali dia sudah kelaparan. Karena dari tadi pagi sampai sekarang belumlah sesuap nasi masuk kedalam perutnya. Dan setelah kenyang maka tertidurlah dia. Didalam tidurnya maka bermimpilah Linggau.
“Tiba-tiba saja Linggau berada di depan halaman rumah yang sangat dia kenal. Bagaimana mungkin dia mengelak, itu adalah rumahnya. Betapa terkejutnya dia. Ramai sekali orang dirumahnya. Lihatlah didepan rumahnya penuh dengan janur-janur yang dibentangkan, penuh dengan beraneka macam makanan, dan buah-buahan. Semua orang yang ada disana memakai pakaian terbaiknya. Sepertinya ada acara pernikahan dirumah tersebut. Belum hilang kagetnya, Linggau melihata Ibunya keluar dari rumah bersama seorang pemuda tampan. Ibunya tampak sangat anggun dengan gaun putih tersebut. Ibunya dan pemuda tersebut saling bergandengan berjalan pelan menuju halam rumah. Kedua mempelai tersebut tersenyum sumringah membalas sambutan dari tamu mereka. Musik dimainkan dan bunyi petasan saling bersautan memekakkan telinga.
Linggau berlari mendekat. “Ibu … Ibu mau kemana? Dan pemuda ini siapa?” tanya linggau dengan heran. Tetapi Ibunya tidak menjawab dan hanya tersenyum saja. Pemuda itupun ikut tersenyum dan lebih erat lagi mengganden tangan mempelai wanitanya. Linggau diterpa keheranan, kenapa Ibunya tak menghiraukannya. Akhirnya Ibunya dan pemuda tersebut berlalu melewati Linggau dan segera menaiki kereta kencana yang sudah menunggu dengan anggunnya. Kereta kencana itu melaju, meninggalkan keramaian dan meninggalkan Linggau yang tengah ditimpa kebingungan. Linggau berteriak, “Ibu… Ibu… jangan pergi, jangan tinggalkan Linggau Bu.” Linggau berlari mengejar kereta tersebut. Dan sejenak Ibunya menoleh kebelakang menatapnya. Lantas tersenyum dan kembali menoleh menatap pemuda disampingnya. Linggau tetap berlari mengejar, nafasnya sesak, peluhnya bercucuran. Hingga Linggau tak sanggup lagi berlari dan duduk terpekur meratapi kepergian Ibunya. Linggau pingsan.”
“Ibuuuuu …..” Linggau berteriak keras dan terbangun dari mimpinya. Nafasnya sesak, peluhnya berkucuran, dan bulu romanya berdiri. Linggau teringat Ibunya. Tanpa berfikir panjang dia lekas bangun dari pembaringannya dan berlari kencang kea rah rumahnya. Padahal hari sudah tengah malam. Sudah tak seorangpun lagi berkeliaran. Semua orang sudah tertidur pulas dirumahnya masing-masing. Hanya tinggal Linggau sendirian berlari ditengah gulitanya malam. Tak peduli semak belukar, binatang berbisa ataupun sekawan perampok yang suatu saat bisa mencegatnya. Linggau tak peduli. Linggau ingin segera bertemu dengan Ibunya.
Setelah berlari cukup jauh dengan nafas tersengal, akhirnya dia sampai didepan rumahnya. Tidak ada siapa-siapa, tidak ada keramaian, tidak ada pesta pernikahan, tidak ada kereta kencana dan pemuda itu juga tidak ada. Yang dia dapati hanya kesunyian didepan rumahnya. Nampaknya Ibunya sudah tertidur pulas dan dia tak ingin membangunkan Ibunya. Sebaliknya dia kembali ke pondok tempat dia beristirahat tadi, dimana di pondok itu juga dia dilahirkan. Malam kian meningggi, suara jengkrik saling bersahutan satu sama lain memenuhi pekatnya malam. Suara burung hantupun terdengar kasak kusuk. Sementara jauh di pegunungan sana srigala-srigala mengaum dengan lantangnya, seakan-akan mereka ingin menasbihkan bahwa mereka adalah penguasa malam.
Hari berganti hari. Tak terasa sudah tiga hari Linggau tidak pulang kerumahnya. Entah apa yang difikirkan pemuda tersebut. Apakah dia tidak mengkhawatirkan keadaan Ibunya? Ah tentu saja dia sangat mengkhawatirkan Ibunya. Ditengah badai yang berkecamuk didalam dirinya, dibalik sifat-sifatnya yang kontrovesial, dia tetaplah anak yang berbakti dan sayang kepada Ibunya. Dan sungguh ketetapan itu akan segera tiba menghampirinya, dan merenggut apa yang tersisa dia miliki di dunia ini. Dan benarlah mimpi itu adanya. Ibunya pergi untuk selamanya. Dan pemuda tampan itu adalah maut yang menjemput Ibunya.
Linggau terpekur. Linggau terdiam. Tapi tak setetes air matapun menghampiri kedua pipi kasatnya. Dia tersungkur di depan kuburan Ibunya. Linggau menyesal dan sangatlah menyesal. Tiadalah guna penyesalan di disesali. Karena memang penyesalan itu selalu datang terlambat. Satu persatu para warga meninggalkan perkuburan. Dan hanya tersisa satu orang yang masih bertahan berdiri dibelakangnya. Tak lain tak bukan dia adalah Ratih. Anak perempuan dari sahabat Ayahnya. Keheningan memuncak. Hari sudah petang. Dan gelap sebentar lagi akan mengulum terang. Linggau masih tersungkur rapuh didepan gundukan tanah merah yang telah mengubur jasad Ibunda tercintanya. Sementara itu Ratih yang sejak tadi diam berdiri dibelakangnya tak tahu harus mengatakan apa. Akhirnya Ratih memutus keheningan tersebut dan memberanikan diri bicara.
“Kak. Hari sudah mulai gelap. Sebaiknya kita pulang.” ucap Ratih tercekat.
“Tinggalkan aku sendiri, Ratih.” jawabnya dengan serak.
“Ta…..pi, Kak” belum usai Ratih berkata, Linggau sudah melambaikan tangannya menyuruh Ratih segera pergi.
Dengan berat hati Ratih melangkahkan kakinya, pelan tapi pasti menghilang di balik rimbunnya pohon bambu. Kini Linggau benar-benar sendirian. Menatap bisu kuburan Ibunya yang bersebelahan dengan kuburan Ayahnya. Linggau ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi apalah arti tangisannya, kenyataan pahit itu sudah memupuskan penyesalannya selama ini. Sekarang tinggallah dia sebatang kara didunia yang sempit ini. Linggau sendirian. Dan benar-benar sendirian. Didepan kuburan kedua orang tuanya.
Hari berganti hari. Bulan menjejaki Tahun. Tak terasa sudah dua tahun semenjak kematian Ibunya. Sejak kejadian itu Linggau berubah jadi pendiam. Sifatnya yang selama ini meresahkan masyarakat hilang bak ditelan bumi. Kejadian itu benar-benar menghukumnya. Linggau yang terkenal dengan kenakalannya, tidak hanya itu, sejak dia lahirpun sudah menjadi buah bibir karna dia adalah anak seorang cendikiawan yang dihormati dan disegani di tempat tinggalnya. Kemahsyuran nama ayahnya pun terdengar hingga ke negeri tetangga. Semua itu seakan berbanding terbalik. Harapan dari orang-orang bahwa Linggau akan seperti Ayahnya tak pernah menjadi kenyataan. Dan sekarang semua itu gelap. Linggau padam.
Melihat keadaan Linggau yang sudah sedemikian parah tersebut, akhirnya para tetua desa memutuskan mengadakan musyawarah untuk membahas masalah tentang Linggau. Semua itu mereka lakukan atas dasar mengenang dan menghargai jasa-jasa dari Ayah Linggau kepada desa mereka. Ramai orang-orang berkumpul dibalai desa. Ternyata dibalik sifat nakalnya, Linggau masih tetaplah disayangi masyarakat sekitar. Kepedulian masyarakat itu sempat sirna oleh perbuatan Linggau yang jauh dari nilai-nilai luhur yang telah di ajarkan Ayahnya. Seorang tua memimpin musyawarah tersebut.
Dari sekian banyak pendapat, belumlah ada pendapat yang memuaskan para tetua desa tersebut, untuk ditetapkan menjadi keputusan. Keheningan memuncak sejenak, semua orang berfikir tindakan apa yang harus dilakukan agar Linggau bisa kembali tersenyum dan membuka diri lagi. Akhirnya salah seorang warga mengangkat tangannya. “Izinkan saya mengemukakan pendapat.” ucap salah seorang warga tersebut.
“Silahkan, kemukakanlah pendapatmu, Cik” jawab salah seorang tetua desa.
Orang itu mengambil nafas sejenak, takut–takut pendapatnya ditolak.
“Hmmm … Bagaimana kalau Linggau kita nikahkan saja.?” ucapnya dengan yakin.
Salah seorang tetua desa tersenyum sumringah mendengar pendapat tersebut. Lantas melihat ke kanan dan ke kirinya, dimana para tetua lain duduk bersira rapi dikedua sampingnya.
“Bagaimana, apakah para tetua sekalian setuju?” tanyanya.
Dan para tetua lain pun mengangguk tanda setuju. “Apakah kalian semua setuju.?” tanya salah seorang tetua kepada masyarakat yang memenuhi balai desa.
“Setujuuuuuu ….” dengan serempak masyarakat menjawabnya.
“Tapi dengan siapa?” salah seorang warga menyeletuk.
Dan lagi-lagi mereka yang ada dibalai desa kembali terdiam dan saling bertanya satu sama lainnya. Dengan siapa Linggau akan dinikahkan?.
“Saya mau menikah dengan Kak Linggau” suara seorang gadis memutus tanda tanya.
Semua orang serempak menoleh ke asal muasal suara tersebut. Dan  mereka dapati Ratih tengah berdiri didepan balai desa yang terbuka.
“Apakah kau yakin Ratih” tanya Neneknya yang juga tengah duduk dibalai desa tersebut.
“Yakin Nek.” jawab Ratih dengan tenang.
Akhirnya salah seorang tetua memutuskan bertanya. “Kenapa kau mau menikah dengan Linggau, Ratih?”
Ratih terdiam, kepalanya tertunduk. Bagaimanalah kiranya seorang gadis ditanyai kenapa dia ingin menikah? Ratih malu dan diam sejenak. Akhirnya dengan mengumpulkan segenap keberaniannya, Ratih menjawab pertanyaan itu.
“Saya mencintai Kak Linggau”
Semua orang dibalai desa terdiam, terpana dengan jawaban Ratih. Para tetua diam sejenak sambil menganggukkan kepala. Dan sebagaimana keputusan cepat itu harus segera diambil. Dan akhirnya semua orang setuju agar Linggai dinikahkan dengan Ratih. Ratihpun tersenyum tersipu malu.
Dan kabar itupun segera sampai ke telinga Linggau.  Alangkah terkejutnya dia mendengar kabar dan keputusan itu. Akhirnya Lingga memutuskan untuk segera menemui Ratih. Tapi sayang dia tak mendapati Ratih ada dirumahnya. Linggau berfikir sejenak mengenai keberadaan Ratih. Akhirnya terbesit oleh benaknya tentang perihal keberadaan Ratih. “Ya, Ratih pasti ada disana” bisiknya dalam hati.
Tanpa berfikir panjang lagi, dia segera menuju ke tempat persembunyiannya selama ini. Tempat dimana dia sering bertemu Ratih. Dan tempat dimana Ratih selalu mengantarkan bekal makanan setiap kali dia ada disana. Linggau merasa keputusan para tetua untuk menikahkannya dengan Ratih sangatlah keliru. Bagaimana mungkin lelaki sepertinya bisa menikah dengan Ratih. Ratih pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik darinya. Lebih kaya, lebih tampan dan lebih pintar darinya. Dan Linggau juga merasa selama ini hanya menganggap Ratih sebagai adiknya semata. Tak pernah terbesit dalam benaknya untuk menikahi gadis baik seperti Ratih. Baginya ini sebuah kesalahan. Tapi bagaimanalah Linggau bisa membohongi perasaannya sendiri. Tatapan itu. Getaran itu. Kekakuan itu. Dan lagi-lagi Linggau mengindahkan kata hatinya. Dan hanyut dalam egonya semata.
Sampailah Linggau di tempat pelariannya selama ini. Dia mendapati Ratih tengah duduk bersimpuh menyandarkan kepalanya pada sebuah pohon besar. Dimana dia sering duduk di salah satu dahan diatas sana.
“Ratih . Ternyata kau ada disini.” sapa Linggau.
“Eh… Kak Lenggang.” jawab Ratih dengan sedikit kaget.
Linggau berjalan mendekati Ratih. Ratih pun segera berdiri menyambut kehadiran lelaki yang dicintainya tersebut.
“Aku mendengar kabar bahwa para tetua hendak menikahkan kau dan aku. Benarkah itu Ratih?” tanya Linggau dengan segala kekauannya.
“Be…nar Kak. Dan akulah yang menyarankan kepada mereka, agar Kak Linggau di nikahkan denganku.” timpal Ratih dengan apa adanya.
“Tapi kenapa Ratih. Kenapa kau membuat keputusan sepihak seperti itu. Urungkanlah segera niatmu itu.” balas Linggau dengan tegas.
“Tapi kenapa Kak? Apakah Kak Linggau tidak mau menikahiku? Apakah Kak Linggau tidak mencintaiku?”
Linggau terdiam. Lamat menatap wajah sayu Ratih. Ah kenapalah urusan ini menjadi runyam seketika. Apalah yang hendak dia katakan kepada gadis yang tengah menunggu jawabannya tersebut. Disatu sisi dia telah menganggap Ratih sebagai adik kandungnya sendiri. Kedekatan yang selama ini terjalin diantara mereka. Semenjak mereka masih kecil dan hubungan itu di perkuat oleh kedekatan di antar kedua Ayah mereka, yang merupakan sahabat dekat. Tapi disisi lain yang berasal dari lubuk hatinya, diapun tak dapat membohongi perasaannya sendiri. Perasaan yang dinamakan cinta itu ada tumbuh mekar di laman hatinya. Tapi sungguh dia telah membatasi itu semua dengan ketegasan jika perasaan itu hanya sebuah angan belaka. Dan tak akan pernah dia tanggapi.
“Tidak Ratih. Aku tidak mencintaimu. Aku tidak bisa menikahimu. Hubungan kita hanya sebatas adik dan kakak. Dan kuharap kau mengerti itu.” ucap Linggau dengan nada bergetar.
Ah apa daya. Perkataan itu sudah terucap dan keluar dari mulutnya sendiri. Dan Ratih sudah keburu berlari sambil mengusap air matanya, menjauh dari Linggau dan meninggalkannya sendirian dalam sebuah penyesalan yang lagi-lagi akan menghukumnya suatu saat nanti. Sama seperti penyesalan ketika dia kehilangan Ibunya.
Sejak kejadian itu Linggau menghilang bak ditelan bumi. Tidak ada yang tahu dimana dirinya berada. Dan tak ada kabar seutaspun darinya. Yang tinggal hanya kenangan darinya berupa sebuah rumah, kuburan kedua orang tuanya dan sungai yang menjadi saksi kelahirannya. Dan kini sungai itu menjadi legenda dan buah bibir sampai ke pelosok negeri. Sungai Linggau !!!

*epilog
Linggau tetap menjadi misteri. Tapi sungai linggau menjadi legenda. Menjadi buah bibir.
“Baiklah anak muda, sampai disini saja ceritaku. Nampaknya hari sudah mulai gelap. Baiknya kita segera kembali ke penginapan.”
Pak Tua itu segera berdiri dari tempat duduknya, dan akupun terpaksa ikut berdiri sambil membersihkan debu yang menempel di celanaku.
“Tapi Pak, anda belum menceritakan tentang bagaimana keadaan Ratih setelah Linggau menolak menikah dengannya?” tanyaku dengan penasaran.
“Maaf anak muda. Bukankah aku sudah mengatakan kita harus kembali ke penginapan.” balas Pak Tua itu dengan tegas.
Aku mengangguk pelan, dan merasa menyesal telah lancang bertanya lagi. Ah, mungkin besok masih ada kesempatan untuk menuntaskan cerita tersebut. Aku berjalan pelan dibelakang mengikuti langkah Pak Tua tersebut. Tiba-tiba diperjalanan kami berpapasan dengan seorang wanita yang penampilannya terlihat sangat kusut sekali. Jika aku boleh berprasangka mungkin wanita tersebut orang tak waras. Wanita itu tampak berjalan ke arah tepian sungai lenggang. Dan duduk bersimpuh tenang disana.
“Siapakah wanita itu, Pak Tua?”
“Ratih!”

by. Tuan Hk










Tidak ada komentar:

Posting Komentar