Tersebutlah
seorang pemuda bernama “Linggau”. Pemuda yang sama sekali tak pernah tampan di
mata para kembang desa. Pemuda yang keras kepala, teguh pendirian dan
pembangkang tentunya. Nama pemuda tersebut terdengar hingga ke lima desa
tetangga. Pemuda yang pada saat dilahirkan, semua penduduk berharap padanya.
Bagaimana tidak, Linggau adalah anak semata wayang dari seorang cendikiawan di
desa tersebut. Ayahnya orang yang sangat dihormati dan disegani di kampungnya.
Setiap musyawarah untuk menyelesaikan masalah ataupun menyangkut perkembangan
desanya, pendapat dan nasehat Ayahnya selalu di dengarkan dan menjadi
pertimbangan untuk sebuah keputusan.
Nama
Linggau sendiri diambil dari nama sungai yang membelah desa tempat tinggalnya.
Linggau lahir lebih cepat dari perkiraan orang-orang. Saat itu ramai sekali orang-orang
mandi sungai desa tersebut. Termasuk ada Ayah dan Ibunya yang tengah mengandung
dia. Ditengah-tengah hiruk pikuk kesenangan warga, tiba-tiba Laras berteriak
minta tolong kepada suaminya. Rupanya Laras hendak mau melahirkan. Menurut
perkiraan, Laras akan melahirkan kira-kira satu bulan kedepan. Tapi tidak ,
perkiraan tersebut meleset kiranya. Dan ramailah para warga mengerumuni istri
dari cendikiawan desa tersebut. Tidak akan cukup waktu untuk membawa pulang
Laras kembali ke pedesaan. Akhirnya setelah bermusyawarah secara singkat, warga
sepakat akan melakukan persalinan hari itu juga. Akhirnya Laras digotong menuju
sebuah pondok kecil yang tak jauh dari tepi sungai. Di sanalah Laras melahirkan
anaknya. Dan lahirlah seorang anak bernama Linggau. Seorang anak yang
diharapkan kelak mewarisi kepintaran, kecerdasan, dan kebajikan dari Ayahnya
yang bernama Mahendra.
Tapi
agaknya nasib berkata lain, pepatah yang menyebutkan : “buah yang jatuh tak
jauh dari pohonnya” itu sama sekali tak berlaku padanya. Linggau yang
diharapkan mewarisi setiap sifat dari Ayahnya justru berbeda seratus delapan
puluh derajat. Awalnya Linggau pada masa kanak-kanaknya termasuk anak yang
pintar, rajin, patuh dan santun baik kepada ayah ibunya maupun kepada orang
lain. Tapi itu semua berubah saat Ayahnya ditemukan seorang warga di tengah
hutan belantara terbujur kaku tak bernyawa. Sampai sekarang tidak ada yang tahu
apa penyebab kematian ayahnya tersebut. Linggau yang saat itu masih kecil dan
tak tahu apa-apa hanya terpana menyaksikan jasad Ayahnya di kubur ditanah
kosong yang tak jauh dari tepi sungai linggau. Linggau yang masih kecil
bertanya pada Ibunya : “Ibu… kenapa Ayah dimasukkan kedalam tanah? Apakah Ayah
akan kembali? tanya Linggau dengan begitu lugunya. Sang Ibu hanya terpana dan
tak bisa menjawab apa-apa kepada anaknya, selain hanya terduduk, bersimbah air
mata sambil memeluk anak semata wayangnya.
Hari
demi hari berlalu, bulan demi bulan beranjak dan tahun demi tahu berganti pula.
Linggau kini tinggal berdua bersama Ibunya. Melewati masa suram itu dengan apa
adanya. Laras memutuskan untuk tidak menikah lagi, saking setia dan cintanya
dia kepada suaminya. Setiap lamaran yang datang kepadanya, baik dari penduduk
biasa maupun dari saudagar kaya, semua itu dia tolak. Tak terhitung
berpuluh-puluh pemuda maupun yang sudah beristri patah hati dibuatnya. Laras
bertekad membesarkan anaknya sendirian, tanpa bantuan orang lain. Namun apalah
daya nasib berkata lain, Linggau yang dia harapakan menjadi pemuda seperti
suaminya tiba-tiba menjadi pembangkang, kerasa kepala dan sering membuat ulah
didesanya.
Seperti
kejadian saat ini …
Saat
Laras tengah asyik merapikan pakaian didalam lemarinya, tiba-tiba dia
dikejutkan dengan sebuah teriakan yang memanggil-manggil namanya.
“Laras.
Laaraaas !!! keluar kau dari rumahmu.” Laras menghelus dadanya dan berbisik
pelan ; “Oh Tuhan, dosa apa lagi yang diperbuat anakku?” sambil melangkah
menuju keluar dan menuruni anak tangga rumahnya satu persatu.
“Laras
!!! Lihat apa yang telah diperbuat anakmu terhadapku. Mukanya lebam dan
hidungnya berdarah. Dimana anakmu yang nakal itu, akan kupukul dia dengan
sapuku ini.” teriak wanita tua itu dengan sangat emosi.
“Ma…af mak. Maafkan atas kelakuan anak saya.” ucap
Laras dengan sedikit menundukkan badannya.
“Maaf.
Maaf !!! Setiap anakmu melakukan kesalahan, kau cuma bisa berkata maaf. Apakah
seperti ini ajaran dari mendiang suamimu yang kata orang mulia hatinya itu?
ucap wanita tua itu dengan sedikit tercekat dan agaknya dia sedikit menyesal
karna telah membawa-bawa suami laras yang telah tiada itu.
Laras
tertunduk. Tak terasa setetes air bening keluar dari mata indahnya, membasahi
pipinya. “Lantas apa yang bisa saya lakukan Mak.? Selain menghimpun beribu-ribu
maaf atas kelakuan anak saya mak. Kami tak memiliki apa-apa lagi untuk
diberikan, mak. Sekali lagi maafkan atas tindakan anak saya terhadap anak mak.
Biar nanti saya menghukumnya mak.” ucap laras dengan mengiba sambil menyeka air
matanya.
“Ah
sudahlah. Percuma aku disini, membuang waktuku saja. Uruslah anak kau itu. Lain
kali tiada maaf bagi kau dan anakmu
itu.” timpal wanita tua dan pergi sambil menjijit telinga kanan putranya.
Anaknya mencicit pelan “ aduuuuuh … sakit mak”.
Tinggallah
Laras terpaku sendirian. Dan kembali masuk kerumahnya. Tampaknya dia tahu anaknya
tidak akan pulang hari ini. Sudah menjadi kebiasaan setelah membuat rusuh,
anaknya tersebut akan menghilang dalam beberapa hari ini.
Sementara
ditempat berbeda Linggau tengah asyik duduk bersandarkan sebuah dahan pohon
besar. Tak tampak dari raut wajahnya sama sekali perasaan bersalah maupun
menyesal sedikitpun, setelah dia berhasil membuat wajah seorang pemuda menjadi
lebam dan hidungnya berdarah. Dia tampak santai dan tetap riang, sambil bersiul-siul
tak tentu arah. Sementara hari sudah petang dan sebentar lagi akan gelap.
Ditengah keasyikannya bersiul ria sambil memejamkan mata, dia dikagetkan oleh
suara seorang wanita yang sangat akrab sekali ditelinganya. “ Ah … akhirnya dia
datang juga.” bisiknya dalam hati.
“Kak.
Kak Linggau. Turunlah, aku membawakan bekal makanan untukmu. Sebentar lagi akan
gelap, dan aku harus segera pulang.” teriak gadis itu menyuruh Linggau segera
turun.
Linggau
membuka matanya dan dengan gesit dia melompat menuruni pohon besar tersebut.
“Ah… terima kasih dek Ratih, kau baik sekali kepadaku.”
“Aku
yang seharusnya berterima kasih kepadamu kak. Karena sudah menyelamatkanku dari
perbuatan jahat si Madun.”
“Ah
… sudah menjadi kewajibanku untuk menjaga kau Ratih. Bukankah Ayah kita
merupakan sahabat dekat semasa hidup mereka? Jadi kau tak usah sungkan jika
meminta pertolongan kepadaku. Sudah sana. Pulanglah segera. Nanti nenek kau
khawatir kepada kau.”
“Iya
kak. Kak linggau tidak pulang?” tanya ratih dengan sedikit cemas.
“Tidak.
Ah sudahlah kau tak perlu memikirkan aku. Aku sudah dewasa dan bisa menjaga
diri. Sudah sana cepat pulang.” timpal linggau dengan sedikit tegas.
“Baiklah
kak.” Sebelum Ratih membalikkan badan, dia dan linggau sempat saling
bertatapan. Tatapan yang tak biasa tapi penuh tanda tanya. Ratih berjalan
pelang meninggalkan linggau sendirian. Meninggalkan linggau dengan sebuah
perasaan yang menyangkut dihatinya. Tapi entah perasaan apa itu. Dia tak
mengenal perasaan itu. Begitu juga dengan Ratih. Seperjalanan dia menuju
rumahnya, tak henti-hentinya dadanya sesak. Entah kenapa. Jantungnya tiba-tiba
saja berdegup kencang dan tak pelak sepanjang malam yang di fikirkannya hanya
Linggau seorang. Sementara Linggau mulai melahap makanan yang dibawa Ratih
tadi. Tampak sekali dia sudah kelaparan. Karena dari tadi pagi sampai sekarang
belumlah sesuap nasi masuk kedalam perutnya. Dan setelah kenyang maka
tertidurlah dia. Didalam tidurnya maka bermimpilah Linggau.
“Tiba-tiba
saja Linggau berada di depan halaman rumah yang sangat dia kenal. Bagaimana
mungkin dia mengelak, itu adalah rumahnya. Betapa terkejutnya dia. Ramai sekali
orang dirumahnya. Lihatlah didepan rumahnya penuh dengan janur-janur yang
dibentangkan, penuh dengan beraneka macam makanan, dan buah-buahan. Semua orang
yang ada disana memakai pakaian terbaiknya. Sepertinya ada acara pernikahan
dirumah tersebut. Belum hilang kagetnya, Linggau melihata Ibunya keluar dari
rumah bersama seorang pemuda tampan. Ibunya tampak sangat anggun dengan gaun
putih tersebut. Ibunya dan pemuda tersebut saling bergandengan berjalan pelan
menuju halam rumah. Kedua mempelai tersebut tersenyum sumringah membalas
sambutan dari tamu mereka. Musik dimainkan dan bunyi petasan saling bersautan
memekakkan telinga.
Linggau
berlari mendekat. “Ibu … Ibu mau kemana? Dan pemuda ini siapa?” tanya linggau
dengan heran. Tetapi Ibunya tidak menjawab dan hanya tersenyum saja. Pemuda
itupun ikut tersenyum dan lebih erat lagi mengganden tangan mempelai wanitanya.
Linggau diterpa keheranan, kenapa Ibunya tak menghiraukannya. Akhirnya Ibunya
dan pemuda tersebut berlalu melewati Linggau dan segera menaiki kereta kencana
yang sudah menunggu dengan anggunnya. Kereta kencana itu melaju, meninggalkan
keramaian dan meninggalkan Linggau yang tengah ditimpa kebingungan. Linggau
berteriak, “Ibu… Ibu… jangan pergi, jangan tinggalkan Linggau Bu.” Linggau
berlari mengejar kereta tersebut. Dan sejenak Ibunya menoleh kebelakang
menatapnya. Lantas tersenyum dan kembali menoleh menatap pemuda disampingnya.
Linggau tetap berlari mengejar, nafasnya sesak, peluhnya bercucuran. Hingga
Linggau tak sanggup lagi berlari dan duduk terpekur meratapi kepergian Ibunya.
Linggau pingsan.”
“Ibuuuuu
…..” Linggau berteriak keras dan terbangun dari mimpinya. Nafasnya sesak,
peluhnya berkucuran, dan bulu romanya berdiri. Linggau teringat Ibunya. Tanpa
berfikir panjang dia lekas bangun dari pembaringannya dan berlari kencang kea
rah rumahnya. Padahal hari sudah tengah malam. Sudah tak seorangpun lagi
berkeliaran. Semua orang sudah tertidur pulas dirumahnya masing-masing. Hanya
tinggal Linggau sendirian berlari ditengah gulitanya malam. Tak peduli semak
belukar, binatang berbisa ataupun sekawan perampok yang suatu saat bisa
mencegatnya. Linggau tak peduli. Linggau ingin segera bertemu dengan Ibunya.
Setelah
berlari cukup jauh dengan nafas tersengal, akhirnya dia sampai didepan
rumahnya. Tidak ada siapa-siapa, tidak ada keramaian, tidak ada pesta
pernikahan, tidak ada kereta kencana dan pemuda itu juga tidak ada. Yang dia
dapati hanya kesunyian didepan rumahnya. Nampaknya Ibunya sudah tertidur pulas
dan dia tak ingin membangunkan Ibunya. Sebaliknya dia kembali ke pondok tempat
dia beristirahat tadi, dimana di pondok itu juga dia dilahirkan. Malam kian
meningggi, suara jengkrik saling bersahutan satu sama lain memenuhi pekatnya
malam. Suara burung hantupun terdengar kasak kusuk. Sementara jauh di
pegunungan sana srigala-srigala mengaum dengan lantangnya, seakan-akan mereka
ingin menasbihkan bahwa mereka adalah penguasa malam.
Hari
berganti hari. Tak terasa sudah tiga hari Linggau tidak pulang kerumahnya.
Entah apa yang difikirkan pemuda tersebut. Apakah dia tidak mengkhawatirkan
keadaan Ibunya? Ah tentu saja dia sangat mengkhawatirkan Ibunya. Ditengah badai
yang berkecamuk didalam dirinya, dibalik sifat-sifatnya yang kontrovesial, dia
tetaplah anak yang berbakti dan sayang kepada Ibunya. Dan sungguh ketetapan itu
akan segera tiba menghampirinya, dan merenggut apa yang tersisa dia miliki di
dunia ini. Dan benarlah mimpi itu adanya. Ibunya pergi untuk selamanya. Dan
pemuda tampan itu adalah maut yang menjemput Ibunya.
Linggau
terpekur. Linggau terdiam. Tapi tak setetes air matapun menghampiri kedua pipi
kasatnya. Dia tersungkur di depan kuburan Ibunya. Linggau menyesal dan
sangatlah menyesal. Tiadalah guna penyesalan di disesali. Karena memang
penyesalan itu selalu datang terlambat. Satu persatu para warga meninggalkan
perkuburan. Dan hanya tersisa satu orang yang masih bertahan berdiri
dibelakangnya. Tak lain tak bukan dia adalah Ratih. Anak perempuan dari sahabat
Ayahnya. Keheningan memuncak. Hari sudah petang. Dan gelap sebentar lagi akan
mengulum terang. Linggau masih tersungkur rapuh didepan gundukan tanah merah
yang telah mengubur jasad Ibunda tercintanya. Sementara itu Ratih yang sejak
tadi diam berdiri dibelakangnya tak tahu harus mengatakan apa. Akhirnya Ratih
memutus keheningan tersebut dan memberanikan diri bicara.
“Kak.
Hari sudah mulai gelap. Sebaiknya kita pulang.” ucap Ratih tercekat.
“Tinggalkan
aku sendiri, Ratih.” jawabnya dengan serak.
“Ta…..pi,
Kak” belum usai Ratih berkata, Linggau sudah melambaikan tangannya menyuruh
Ratih segera pergi.
Dengan
berat hati Ratih melangkahkan kakinya, pelan tapi pasti menghilang di balik
rimbunnya pohon bambu. Kini Linggau benar-benar sendirian. Menatap bisu kuburan
Ibunya yang bersebelahan dengan kuburan Ayahnya. Linggau ingin menangis
sejadi-jadinya. Tapi apalah arti tangisannya, kenyataan pahit itu sudah
memupuskan penyesalannya selama ini. Sekarang tinggallah dia sebatang kara
didunia yang sempit ini. Linggau sendirian. Dan benar-benar sendirian. Didepan
kuburan kedua orang tuanya.
Hari
berganti hari. Bulan menjejaki Tahun. Tak terasa sudah dua tahun semenjak
kematian Ibunya. Sejak kejadian itu Linggau berubah jadi pendiam. Sifatnya yang
selama ini meresahkan masyarakat hilang bak ditelan bumi. Kejadian itu
benar-benar menghukumnya. Linggau yang terkenal dengan kenakalannya, tidak
hanya itu, sejak dia lahirpun sudah menjadi buah bibir karna dia adalah anak
seorang cendikiawan yang dihormati dan disegani di tempat tinggalnya.
Kemahsyuran nama ayahnya pun terdengar hingga ke negeri tetangga. Semua itu
seakan berbanding terbalik. Harapan dari orang-orang bahwa Linggau akan seperti
Ayahnya tak pernah menjadi kenyataan. Dan sekarang semua itu gelap. Linggau
padam.
Melihat
keadaan Linggau yang sudah sedemikian parah tersebut, akhirnya para tetua desa
memutuskan mengadakan musyawarah untuk membahas masalah tentang Linggau. Semua
itu mereka lakukan atas dasar mengenang dan menghargai jasa-jasa dari Ayah
Linggau kepada desa mereka. Ramai orang-orang berkumpul dibalai desa. Ternyata
dibalik sifat nakalnya, Linggau masih tetaplah disayangi masyarakat sekitar.
Kepedulian masyarakat itu sempat sirna oleh perbuatan Linggau yang jauh dari
nilai-nilai luhur yang telah di ajarkan Ayahnya. Seorang tua memimpin
musyawarah tersebut.
Dari
sekian banyak pendapat, belumlah ada pendapat yang memuaskan para tetua desa
tersebut, untuk ditetapkan menjadi keputusan. Keheningan memuncak sejenak,
semua orang berfikir tindakan apa yang harus dilakukan agar Linggau bisa
kembali tersenyum dan membuka diri lagi. Akhirnya salah seorang warga
mengangkat tangannya. “Izinkan saya mengemukakan pendapat.” ucap salah seorang
warga tersebut.
“Silahkan,
kemukakanlah pendapatmu, Cik” jawab salah seorang tetua desa.
Orang
itu mengambil nafas sejenak, takut–takut pendapatnya ditolak.
“Hmmm
… Bagaimana kalau Linggau kita nikahkan saja.?” ucapnya dengan yakin.
Salah
seorang tetua desa tersenyum sumringah mendengar pendapat tersebut. Lantas
melihat ke kanan dan ke kirinya, dimana para tetua lain duduk bersira rapi
dikedua sampingnya.
“Bagaimana,
apakah para tetua sekalian setuju?” tanyanya.
Dan
para tetua lain pun mengangguk tanda setuju. “Apakah kalian semua setuju.?”
tanya salah seorang tetua kepada masyarakat yang memenuhi balai desa.
“Setujuuuuuu
….” dengan serempak masyarakat menjawabnya.
“Tapi
dengan siapa?” salah seorang warga menyeletuk.
Dan
lagi-lagi mereka yang ada dibalai desa kembali terdiam dan saling bertanya satu
sama lainnya. Dengan siapa Linggau akan dinikahkan?.
“Saya
mau menikah dengan Kak Linggau” suara seorang gadis memutus tanda tanya.
Semua
orang serempak menoleh ke asal muasal suara tersebut. Dan mereka dapati Ratih tengah berdiri didepan
balai desa yang terbuka.
“Apakah
kau yakin Ratih” tanya Neneknya yang juga tengah duduk dibalai desa tersebut.
“Yakin
Nek.” jawab Ratih dengan tenang.
Akhirnya
salah seorang tetua memutuskan bertanya. “Kenapa kau mau menikah dengan
Linggau, Ratih?”
Ratih
terdiam, kepalanya tertunduk. Bagaimanalah kiranya seorang gadis ditanyai
kenapa dia ingin menikah? Ratih malu dan diam sejenak. Akhirnya dengan
mengumpulkan segenap keberaniannya, Ratih menjawab pertanyaan itu.
“Saya
mencintai Kak Linggau”
Semua
orang dibalai desa terdiam, terpana dengan jawaban Ratih. Para tetua diam
sejenak sambil menganggukkan kepala. Dan sebagaimana keputusan cepat itu harus
segera diambil. Dan akhirnya semua orang setuju agar Linggai dinikahkan dengan
Ratih. Ratihpun tersenyum tersipu malu.
Dan
kabar itupun segera sampai ke telinga Linggau. Alangkah terkejutnya dia mendengar kabar dan
keputusan itu. Akhirnya Lingga memutuskan untuk segera menemui Ratih. Tapi
sayang dia tak mendapati Ratih ada dirumahnya. Linggau berfikir sejenak
mengenai keberadaan Ratih. Akhirnya terbesit oleh benaknya tentang perihal
keberadaan Ratih. “Ya, Ratih pasti ada disana” bisiknya dalam hati.
Tanpa
berfikir panjang lagi, dia segera menuju ke tempat persembunyiannya selama ini.
Tempat dimana dia sering bertemu Ratih. Dan tempat dimana Ratih selalu
mengantarkan bekal makanan setiap kali dia ada disana. Linggau merasa keputusan
para tetua untuk menikahkannya dengan Ratih sangatlah keliru. Bagaimana mungkin
lelaki sepertinya bisa menikah dengan Ratih. Ratih pantas mendapatkan lelaki
yang lebih baik darinya. Lebih kaya, lebih tampan dan lebih pintar darinya. Dan
Linggau juga merasa selama ini hanya menganggap Ratih sebagai adiknya semata.
Tak pernah terbesit dalam benaknya untuk menikahi gadis baik seperti Ratih.
Baginya ini sebuah kesalahan. Tapi bagaimanalah Linggau bisa membohongi
perasaannya sendiri. Tatapan itu. Getaran itu. Kekakuan itu. Dan lagi-lagi
Linggau mengindahkan kata hatinya. Dan hanyut dalam egonya semata.
Sampailah
Linggau di tempat pelariannya selama ini. Dia mendapati Ratih tengah duduk
bersimpuh menyandarkan kepalanya pada sebuah pohon besar. Dimana dia sering
duduk di salah satu dahan diatas sana.
“Ratih
. Ternyata kau ada disini.” sapa Linggau.
“Eh…
Kak Lenggang.” jawab Ratih dengan sedikit kaget.
Linggau
berjalan mendekati Ratih. Ratih pun segera berdiri menyambut kehadiran lelaki
yang dicintainya tersebut.
“Aku
mendengar kabar bahwa para tetua hendak menikahkan kau dan aku. Benarkah itu
Ratih?” tanya Linggau dengan segala kekauannya.
“Be…nar
Kak. Dan akulah yang menyarankan kepada mereka, agar Kak Linggau di nikahkan
denganku.” timpal Ratih dengan apa adanya.
“Tapi
kenapa Ratih. Kenapa kau membuat keputusan sepihak seperti itu. Urungkanlah
segera niatmu itu.” balas Linggau dengan tegas.
“Tapi
kenapa Kak? Apakah Kak Linggau tidak mau menikahiku? Apakah Kak Linggau tidak
mencintaiku?”
Linggau
terdiam. Lamat menatap wajah sayu Ratih. Ah kenapalah urusan ini menjadi runyam
seketika. Apalah yang hendak dia katakan kepada gadis yang tengah menunggu
jawabannya tersebut. Disatu sisi dia telah menganggap Ratih sebagai adik
kandungnya sendiri. Kedekatan yang selama ini terjalin diantara mereka.
Semenjak mereka masih kecil dan hubungan itu di perkuat oleh kedekatan di antar
kedua Ayah mereka, yang merupakan sahabat dekat. Tapi disisi lain yang berasal
dari lubuk hatinya, diapun tak dapat membohongi perasaannya sendiri. Perasaan
yang dinamakan cinta itu ada tumbuh mekar di laman hatinya. Tapi sungguh dia
telah membatasi itu semua dengan ketegasan jika perasaan itu hanya sebuah angan
belaka. Dan tak akan pernah dia tanggapi.
“Tidak
Ratih. Aku tidak mencintaimu. Aku tidak bisa menikahimu. Hubungan kita hanya
sebatas adik dan kakak. Dan kuharap kau mengerti itu.” ucap Linggau dengan nada
bergetar.
Ah
apa daya. Perkataan itu sudah terucap dan keluar dari mulutnya sendiri. Dan
Ratih sudah keburu berlari sambil mengusap air matanya, menjauh dari Linggau
dan meninggalkannya sendirian dalam sebuah penyesalan yang lagi-lagi akan
menghukumnya suatu saat nanti. Sama seperti penyesalan ketika dia kehilangan
Ibunya.
Sejak
kejadian itu Linggau menghilang bak ditelan bumi. Tidak ada yang tahu dimana
dirinya berada. Dan tak ada kabar seutaspun darinya. Yang tinggal hanya
kenangan darinya berupa sebuah rumah, kuburan kedua orang tuanya dan sungai
yang menjadi saksi kelahirannya. Dan kini sungai itu menjadi legenda dan buah
bibir sampai ke pelosok negeri. Sungai Linggau !!!
*epilog
Linggau
tetap menjadi misteri. Tapi sungai linggau menjadi legenda. Menjadi buah bibir.
“Baiklah
anak muda, sampai disini saja ceritaku. Nampaknya hari sudah mulai gelap.
Baiknya kita segera kembali ke penginapan.”
Pak
Tua itu segera berdiri dari tempat duduknya, dan akupun terpaksa ikut berdiri
sambil membersihkan debu yang menempel di celanaku.
“Tapi
Pak, anda belum menceritakan tentang bagaimana keadaan Ratih setelah Linggau
menolak menikah dengannya?” tanyaku dengan penasaran.
“Maaf
anak muda. Bukankah aku sudah mengatakan kita harus kembali ke penginapan.”
balas Pak Tua itu dengan tegas.
Aku
mengangguk pelan, dan merasa menyesal telah lancang bertanya lagi. Ah, mungkin
besok masih ada kesempatan untuk menuntaskan cerita tersebut. Aku berjalan
pelan dibelakang mengikuti langkah Pak Tua tersebut. Tiba-tiba diperjalanan
kami berpapasan dengan seorang wanita yang penampilannya terlihat sangat kusut
sekali. Jika aku boleh berprasangka mungkin wanita tersebut orang tak waras.
Wanita itu tampak berjalan ke arah tepian sungai lenggang. Dan duduk bersimpuh
tenang disana.
“Siapakah
wanita itu, Pak Tua?”
“Ratih!”
by. Tuan Hk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar