Minggu, 08 Maret 2015

Syair-syair di dalam novel Tutur Tinular karya S.Tidjab

Sakit sekali rasanya
Suatu derita panjang
di malam yang dingin dan kelam.
( Arya Dwipangga )


Kerling matamu lebih dahsyat
dari gelombang tujuh samudera
Dan senyummu
sanggup menggetarkan seluruh isi dunia
Apa artinya si Arok anak desa?
( Syair yang ikut mengubah jalannya pemerintahan di Tumapel,
syair ini akhirnya dapat menjadi awal sejarah perjuangan Ken Arok, anak dari desa Pangkur. Ken Arok menjadi besar karena wanita
)

Amisari!
Kau adalah matahari pagi
yang selalu menghangatkan ranjangku
Kediri akan membeku
jika kau berpaling dariku.
( Syair ini diucapkan oleh Prabu Kertajaya atau Dandang Gendis
yang waktu itu sedang tergila-gila oleh kecantikan seorang wanita bernama Dewi Amisani.
)

Kubuka daun jendela
dan terbentang malam yang indah
dihiasi Candra Kartika
Di bulan Waisya ini
sepuluh kali aku melewati rumahmu
yang mmasih rapat terkancing dari dalam.
Kapan kaubuka, wahai sang Dewi Puspa?
( Arya Dwipangga )

Sekuntum Cempaka sedang mekar
di taman sari desa Tumangkar
kelopaknya indah tersenyum segar
Kan kupetik Cempaka itu
untuk kubawa tidur malam nanti.
( Arya Dwipangga kepada Parwati )

Pelangi itu muncul lagi
membuat garis melengkung ke langit tinggi
Daun ilalang diterpa angin gemerisik
membangunkan tidurku dari mimpi buruk.
Di atas tugu yang perkasa ini kupahatkan
dengan bermandikan keringat kasih.
Kalau kau tatap mega yang berbunga-bunga
Di sanalah aku duduk menunggu pintu maafmu
terbuka
( Arya Dwipangga kepada Nari Ratih "mewakili Kamandanu" )

Pelangi senja mengantarkan burung-burung
pulang ke sarangnya.
Domba-domba pulang ke kandangnya.
Tapi aku hendak ke mana?
Apa yang kulakukan menjadi tak berharga
selama senyummu masih kausembunyikan
di balik keangkuhan hatimu.
( Arya Dwipangga kepada Nari Ratih )

Sekalipun aku tahu pintu rumahmu terkunci
Aku ingin mengetuknya berulangkali
Angin yang menghembus bumi menjadi saksi
Penysalan Dwipangga menyentuh ke dasar hati
( Arya Dwipangga kepada Nari Ratih )

Nari Ratih!
Kau adalah sebongkah batu karang
Tapi aku adalah angin yang sabar dan setia
Sampai langit di atas terbelah dua
Aku akan membelai namamu bagaikan bunga
( Arya Dwipangga )

Hujan sore itu turun dengan sedihnya
Tanpa angin tanpa pelangi
Apakah itu pertanda harapanku akan sia-sia?
Kulewati malam yang dingin ini dengan gemetar
sambil terus mengenang wajahmu.
( Arya Dwipangga kepada Nari Ratih )

Jika hari telah tidur di pangkuan malam
Kukirim bisikan hatiku ini bersama angin
Biarpun bintang merintih di langit yang jauh
Aku akan tidur dengan tenang
Sambil memeluk senyummu dalam kehangatan mimpiku
( Arya Dwipangga )

Seekor kijang kencana
terbaring di atas lempengan batu
dan Candi Walandit tak bisa mendongeng
lagi tentang cerita yang lama sudah usang
yang selama ini dibangga-banggakan.
Megapun tersingkap
Angin berhenti
Pohon-pohon tersentak lalu terdiam
Burung-burung tak berkicau lagi
Desah napas pun tak terdengar lagi
kena pesona gaib kijang kencana
yang masih tidur di atas lempengan batu
( Arya Dwipangga kepada Nari Ratih )

Aku berkelana mencari cinta
ke desa-desa yang jauh.
Akhirnya di Candi Walandit
kupuaskan dahagaku.
( Arya Dwipangga )





Pelangi muncul di atas Kurawan
Warnanya indah bukan buatan
Seorang gadis ternganga keheranan
Rambutnya tergerai jatuh ke pangkuan!
( Arya Dwipangga )

Wanita bagiku adalah sumber ilham untuk berbuat sesuatu. Tanpa
wanita dunia ini akan terasa seperti samudera tanpa gelombang
( ucapan Arya Dwipangga kepada Arya Kamandanu )


Bulan tersembul di sela-sela rumput
Terdengar rengek bocak minta susu
Angin membelai daun-daunan
Dan malam terasa semakin sunyi!
--
Jika kau jatuh cinta,
ikutilah ke mana hatimu pergi,
agar cintamu mengalir
bagaikan air kali
--
Seindah pelangi
pucuk-pucuk cinta bersemi
semuram malam berkabut
nurani cinta yang tercerabut!
--
Hati dan pikiran yang bening
seumpama petualang
menemukan secercah cahaya
setelah sekian lama terkurung
dalam lembah berkabut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar