Kamis, 09 April 2015

Tentang Amr




Oleh Bambang Setyadi


“Alaa, lahu al-khalq wal amr”
… Ingatlah, bagi-Nya-lah Ciptaan dan Urusan …

“Setiap ciptaan diikat oleh sebuah amr (urusan) yang dititahkan baginya.”

Minimal begitulah pembacaan saya atas ayat ke-54 dari surat al A’raf di bawah ini :

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada urusan/perintah-Nya. Ingatlah, bagi-Nya lah Ciptaan (al Khalq) dan urusan (al-Amr). Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.”

Dan ayat ke 12 dari surah Ath-Thalaq :

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Dia menurunkan urusan (al-Amr) padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.”

Manusia adalah bagian dari apa yang disebut sebagai Ciptaan (al-Khalq). Oleh karena itu, apa pun yang berlaku dalam semesta ciptaan sebagaimana yang termaktub dalam ayat diatas tentulah berlaku juga bagi kita, manusia. Seperti halnya matahari, bulan dan bintang-bintang, manusia sejatinya tunduk kepada sebuah urusan (amr) yang turun atas perintah-Nya (amrahu). Sebuah urusan yang menjadi sebab kehadirannya di muka bumi ini. Karena tidak ada suatu ciptaan (al-khalq) pun melainkan Allah menciptakannya dengan sebuah tujuan, perintah atau urusan (al-amr) tertentu.

Amr berasal dari kata kerja “amara” yang berarti memerintah, memutuskan, menyuruh atau menitahkan sesuatu. Dan Amr adalah objek kata kerja amara yang artinya sebuah urusan, perihal, perintah, keputusan atau titah. Istilah umur dalam bahasa Indonesia sepertinya diambil dari kata ini, karena umuur dalam bahasa arab berarti urusan-urusan (jamak). Dan hidup manusia memang berisi atau dipenuhi dengan urusan yang banyak.

YANG SATU DAN YANG BANYAK
Amr manusia sejatinya hanya satu. Hal ini karena amr berasal dari sisi Allah SWT. Allah Yang Maha Tinggi adalah Ahad dan segala yang berada di sisi-Nya berada dalam keadaan menyatu (muwahid) dan menghimpun (jam’a). Semakin jauh dari sisi-nya maka keadaannya semakin membilang (katsrah) dan membeda (farq).

Para sufi menyebut nama “Allah” sebagai “Nama yang Menghimpunkan” (Asma ul Jam’an), yakni nama yang menghimpunkan sekian banyak nama-nama-Nya yang beragam dan kadang saling berlawanan. Nama-nama-Nya yang tanzih dan tasbih. Yang jauh dan yang dekat. Yang lembut dan yang keras. Dalam nama “Allah” inilah, Dia memperkenalkan Diri-Nya dalam penamaan yang paripurna. “Sesungguhnya Aku adalah Allah…” (Thaha [20]: 14)

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Allah itu ahad dalam dzat, namun beragam dalam sifat dan perbuatan. Namun, nama-nama dan perbuatan yang beragam itu telah manunggal dengan dan dalam diri-Nya. Relasi antara yang satu dengan yang banyak sebagaimana ada dalam Diri Sang Pencipta sebenarnya relasi ini juga tercermin di dalam ciptaan yang diciptakan-Nya. Karena ciptaan hanyalah pengungkapan tentang diri sang pencipta, manifestasi dari kehendak dan pengetahuan-Nya. Tidak ada pencipta lain kecuali Allah SWT, karenanya tidak ada pengungkapan di semesta ini kecuali tentang Dia saja. Hidup yang kita jalani ini, sebenarnya adalah hujjah bahwa Dia adalah Maha hidup, karena mustahil sesuatu yang mati menciptakan sesuatu yang hidup. Lalu kita yang melihat, mendengar, berkata-kata, dan seterusnya, adalah juga hujjah bagi sifat dan nama-Nya.

Setiap ciptaan memanifestasikan nama-nama tertentu dari nama-nama-Nya. Keberadaannya bergantung pada nama-nama itu dan nama-nama itu bergantung kepada Dzat-Nya yang satu. Dalam konteks inilah Allah disebut tempat bergantung (Ash-Shamad). Karena semua eksistensi yang mungkin mewujud bergantung kepada kehendak dan titah Wujud yang mutlak, yakni Allah Ta’ala. Setiap amr lahir dari kehendak-Nya, dan setiap kehendak memanifestasikan sebuah nama dari Nama-Nya. Contoh sederhananya, sebuah musibah yang menimpa manusia adalah sebuah amr yang turun dan ia adalah kehendak Allah SWT. Terkadang, ia adalah manifestasi dari nama-Nya yang Maha Adil, atau dia hanya ingin dikenal sebagai yang Maha Penolong. Allah menurunkan itu, agar manusia mengenal nama dan sifat-Nya.

Alam semesta menyimpan manifestasi dari nama-nama-Nya, sementara seorang manusia menyimpan seluruh nama-nama yang dikandung oleh alam semesta itu. Sedemikian banyak nama-nama yang ingin Dia perkenalkan kepada manusia melalui berbagai urusan yang Dia hadirkan dalam hidupnya menjadikan hidup manusia sedemikian kompleks dan rumit. Hal ini agar manusia menjadi lebih paripurna dalam mengenal-Nya sejauh yang akal manusia mampu, dan agar mereka kuat menerima sebuah amr (urusan) yang menghimpunkan umuur -nya (urusan-urusan) yang terserak, yang turun dalam kehidupannya.

“Ingatlah, bagi-Nya-lah Ciptaan dan al-amr.”

Dari sinilah konsep “barang siapa mengenal dirinya, dia akan mengenal Rabbnya” dapat kita pahami. Karena semua kehidupan yang digelar hanya agar kita mengenal dan mengabdi kepada-Nya. Sementara semua berita tentang diri-Nya tersimpan dalam urusan-urusan yang Dia hadirkan dalam kehidaupannya. Dan urusan-urusan itu adalah pintu-pintu bagi pengabdian kepada-Nya. Wallahu a’alam.

AMR YANG SATU DAN AMR YANG BANYAK

Amr manusia laksana mata air yang darinya mengalir sungai kehidupan dengan pelbagai cabang-cabangnya. Atau ibarat benih pohon, yang darinya tumbuh pohon yang banyak cabangnya. Pengertian ini sejalan dengan salah satu makna dari kata amr, yaitu memperbanyak. Kata amira (satu akar dengan amr) artinya memperbanyak, menggandakan, atau melipatgandakan. Dan amr, sebagaimana di singgung di atas, secara natur juga demikian, yakni dari sebuah Amr yang satu memanifestasi menjadi rentang kehidupan yang sedemikian panjang, di mana di setiap penggal kehidupan dipenuhi urusan-urusan yang banyak namun pada hakikatnya hanya menjelaskan amr yang satu saja.

Hidup dan urusan yang bercabang dan terkadang membingungkan sejatinya hanyalah agar manusia menjadi pribadi yang kompleks. Kompleksitas menjadikan sebuah struktur dalam bangunan menjadi kuat. Perhatikanlah sarang lebah yang dibuat bersekat-sekat dan bersel-sel, semua itu agar dapat menampung madu dengan kuat. Manusia kadang harus menerima urusan-urusan yang berat dalam kehidupannya dan dalam jumlah yang banyak atau diperjalankan ke banyak tempat, semua itu agar dirinya menjadi pribadi yang kuat untuk menempuh perjalanan dan memikul titah Rabb-nya yang sejati.

“Dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya (amriha).” (Fushilat [41]: 12)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan.” (Al-Mu’minuun [23]: 17)

Tujuh langit yang Allah Ta’ala tinggikan adalah cerminan dari kedalaman jiwa manusia dengan segala entitas yang dikandungnya. Dan sebagaimana lelangit yang memiliki urusan (amr), begitu juga dengan jiwa manusia. Mengapa demikian? Karena pada hakikatnya sebuah urusan dari Allah Ta’ala adalah sebuah pintu, jalan, atau tanda yang akan membimbingnya kepada urusannya yang tertinggi dan perjumpaan dengan Rabb. Dalam bahasa Arab klasik, kata “amaratun” dipakai untuk menyebut sebuah batu atau tumpukan batu berstruktur yang digunakan di padang pasir untuk menunjukkan arah jalan yang benar. Lebih jauh lagi, kata amaarun atau amaaratun memiliki arti “tanda, jejak atau bukti.”

“Allah-lah yang meninggikan lelangit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan, menjelaskan tanda-tanda. Supaya kamu, terhadap perjumpaan dengan Tuhanmu, meyakini.” (Ar-Ra’d [13]: 2)

AMR DAN PERJUMPAAN DENGAN RABB

Perjumpaan dengan Rabb adalah tema yang besar dalam Islam. Manusia setidaknya akan melampaui dua perjumpaan. Pertama, adalah ketika di alam persaksian ketika seluruh Jiwa di ambil persaksian akan ke-Rububiyah-an Allah Ta’ala. Kedua, adalah ketika manusia berdiri di hadapan-Nya di akhirat nanti untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya selama di alam dunia.

Tentang hal ini Maulana Rumi pernah menulis :

“Sebenarnya, hanya satu hal saja yang tak boleh engkau lupakan di dunia ini. Jika engkau melupakan hal yang lain, tak perlu khawatir. Tapi jika engkau mengingat semua hal lain itu tapi melupakan yang satu ini, maka engkau seperti tak mengerjakan apa-apa dalam hidupmu. Itu seperti halnya ketika seorang Raja mengutusmu ke sebuah negeri untuk sebuah misi, lalu engkau mengerjakan seratus pekerjaan lainnya, dan tak melakukan tugas yang engkau telah diutus untuk itu.”

Maka manusia datang ke dunia ini untuk mengerjakan sesuatu. Sesuatu itu adalah misinya, dan tiap-tiap misi berbeda bagi masing-masing orang. Jika engkau tak mengerjakannya, itu seperti sebuah pedang megah India yang cuma dipakai untuk memotong daging. Seperti juga halnya periuk emas, tapi hanya digunakan untuk menanak lobak. Sebilah pisau cemerlang yang ditanamkan ke dinding hanya sebagai kait gantungan.

Engkau bilang, “Tapi lihatlah, aku toh memanfaatkan pisau itu, bukan kudiamkan begitu saja.” Tidakkah itu terdengar menggelikan? Engkau bisa membeli sebuah paku besi untuk itu. Engkau bilang, “Tapi aku mencurahkan energiku untuk hal-hal yang hebat. Aku belajar hukum dan folosofi dan logika dan astronomi dan kedokteran dan segala hal lainnya.” Tapi coba pikirkan, mengapa engkau melakukan semua itu. Itu semua hanyalah cabang-cabang dari dirimu yang sesungguhnya.

Ingatlah tentang sumber keberadaanmu, kehadiran Tuhanmu. Serahkan hidupmu kepada Dia yang telah memiliki setiap hirup napas dan waktumu. Bila tidak, engkau akan seperti si pemilik belati nan indah itu yang memakukannya ke dinding dapur untuk menggantung sendok sayurnya. Engkau akan menyia-nyiakan ketajaman yang amat berharga, mengabaikan kehormatanmu, dan misi hidupmu…

Mengerjakan apa yang Rabb kita perintahkan adalah penyaksian yang paling Haqq atas ke-Rububiyah-an Allah Ta’ala. Karena ketika kita mengerjakan titah-Nya maka kita sedang menjadi alat-Nya dan kita dalam status ini, sebenarnya, telah menjadi wakil-Nya di muka bumi (khalifatullah fil ard). Ini adalah Hujjah yang paling haqq tentang Allah dari lisan seorang manusia. Menjadi khalifah-Nya akan menjelaskan perihal ke-Rububiyah-an-Nya kepada segenap alam semesta di sekelilingnya. Karena itulah mengapa kalimat persaksian di alam persaksian hanyalah, “Apakah Aku Rabbmu?”(Al A’raf, 7 :172). Manusia harus menjadi Hujjah bagi-Nya di dunia ini, sebab jika tidak, ia hanya akan menjadi Hujjah atas eksistensi hawa nafsu dan syahwat yang ada dalam dirinya.

Istlah quran tentang ‘Ulul Amri” sebenarnya erat kaitannya dengan persoalan manusia yang menjadi wakil-Nya di muka bumi. Karena kata yang dipakai tidak serta merta secara sederhana bisa diartikan sebagai “pemimpin” saja. Melainkan membutuhkan beberapa kriteria yang sebenarnya dijelaskan oleh kata amr itu sendiri. Ulul Amri secara sederhana bermakna “pemilik urusan”. Sementara urusan, seperti yang sedang kita bahas, adalah berupa “perintah” dari Allah, yang Dia wahyukan. Disinilah peran Ruh al-Quds diperlukan, sebagai Ruh yang membawa perintah dari Rabb (“Ruh min amri rabbika”).

Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai 'Arsy, Yang mengutus Ruh dengan urusan dari-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan tentang hari perjumpaan. (Al-Mu’min [40]: 15)

“Allah-lah yang meninggikan lelangit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan, menjelaskan tanda-tanda. Supaya kamu, terhadap perjumpaan dengan Tuhanmu, meyakini.” (Ar-Ra’d [13]: 2)

ANTARA AMR DAN HUJAN YANG TURUN

Urusan dari sisi-Nya akan turun kepada ciptaan dengan dijaga oleh para malaikat dan ruh, dan dalam ukuran-ukuran atau kadar-kadar tertentu. Sebagaimana perlakukan terhadap air hujan yang turun begitu pula perlakuan terhadap amr yang turun
.
“Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya. Lalu dengan air itu, Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma dan anggur; di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak dan sebahagian dari buah-buahan itu kamu makan, dan pohon kayu keluar dari Thursina (pohon zaitun), yang menghasilkan minyak, dan celupan (shibghah) bagi orang-orang yang makan.” (Al-Mu’minuun [23]:18-20)

Perhatikan ayat-ayat dari surat Al-Mu’minuun di atas, bagaimana Allah Ta’ala telah menurunkan air dalam kadar tertentu kemudian dari air itu dijadikannya kebun-kebun kurma dan anggur, kemudian dikeluarkan dari kebun-kebun itu buah-buahannya, yang kemudian dimakan manusia. Atau dari air itu ditumbuhkan pohon zaitun yang minyaknya kemudian men-shibghah orang-orang yang makan. Air dalam ayat tersebut termanifestasi menjadi bentuk-bentuk yang berbeda dan membanyak.

Air yang turun dari langit terkadang juga melambangkan sebuah amr yang turun. Kata shayibun (hujan lebat) dalam surat Al-Baqarah ayat 19 berbagi akar kata yang sama dengan kata mushibah (bencana) karena keduanya mempunyai makna yang sama, yakni sesuatu yang turun dan menimpa. Dan sebuah musibah adalah bagian dari amr (urusan) yang turun. Banyak azab atau bencana yang menimpa sebuah kaum, Al-Quran menyebutnya dengan istilah Amr (silahkan lihat rangkaian kisah para Nabi dalam surat Huud). Peristiwa banjir dalam masa Nabi Nuh adalah salah satu contohnya. Dan Allah tidak akan mengazab sebuah kaum sebelum Dia mengutus seorang utusan. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tidak ada satu butir air pun yang jatuh ke bumi melainkan ada malaikat yang menjaganya sampai ke bumi. Mungkin semua urusan dari Allah pun demikian. Dalam hal yang paling sederhana sebenarnya Allah senantiasa mengirimkan utusan. Dari putihnya rambut hingga malaikat yang datang kepada hamba-hamba-Nya demi mengabarkan sebuah urusan.

Allah bersemayam di atas Arsy dan dari sana Dia mengatur amr. Semua urusan yang turun di alam semesta ini turun dari Arsy-Nya melalui Kursyi. Kursyi dalam sebuah kerajaan adalah tempat Raja bertitah dan memutuskan segala sesuatu. Ia simbol kekuasaan dari sebuah kerajaan. Kalimat “Arsy-Nya di atas air” dalam Al-Quran mungkin mengindikasikan ke persoalan ini, wallahu ‘alam. Namun kalau kita teliti ada persamaan yang kuat antara air dan amr, yakni keduanya sama-sama sumber kehidupan. Air adalah sumber kehidupan alam fisik, sementara Amr adalah sumber ciptaan. Air dalam Al-Quran juga melambangkan pengetahuan, sementara Amr menyimpan pengetahuan. Sehingga kalimat quran tentang “Arsy-Nya di atas air” bagi saya lebih dekat kepada pengertian bahwa di bawah singgasana-Nya berhimpun semua urusan di alam semesta yang siap turun laksana gumpalan awan yang siap turun ke bumi menjadi dalam bentuk air hujan yang turun. Wallahu a’lam.

Tema tentang pohon zaitun dan minyaknya seperti disebut dalam ayat di atas, sebagaimana dibicarakan dalam surat An-Nur ayat ke 35, adalah perlambang bagi manusia yang paripurna, yang semua entitas dalam dirinya bercahaya. Ia adalah perumpamaan bagi cahaya Allah. Cahaya dalam hal ini adalah bahwa ketika seorang manusia bertaqwa, ketika tumbuh pohon dirinya, dan dengan itu dia memberikan manfaat buat semestanya, maka dia sedang dalam keadaan menjadi khalifah atau wakil Allah bagi semestanya. Hingga segenap semestanya kemudian bisa mengenal Rabb melalui dirinya. Ini yang disebut sebagai cahaya Allah, mereka yang dengan seggenap lisannya mengeluarkan hujjah bagi eksistensi Rububiyyah Allah Ta’ala.

Dari persoalan air yang tutun hingga ke persoalan minyak adalah gambaran manifestasi. Minyak menjadi celupan (shibghah) dalam konteks dia akan mewarnai atau membentuk seseorang dengan sesuatu yang baru. Minyak zaitun adalah buah yang paling buah dari pohon zaitun. Dan pohon adalah gambaran bagi sebuah jiwa yang taqwa (silahkan lihat note "tentang pohon" di FB Bambang Setyadi). Sementara buah adalah hasanah yang dikeluarkan. Hasanah terkait dengan sifat-sifat kebaikan yang menghiasai hati. Tercelup dengan minyak zaitun adalah seseorang menjadi ber-akhlaq dengan akhlaq Allah yang maha Mulia. Mungkin inilah persoalan "menyempurnakan Akhlaq Yang Mulia" yang karena persoalan ini Rasulullah diutus. Akhlaq adalah pakaian dan pakaian yang paling haqq bagi wakil Allah adalah Akhlaq Allah Yang Maha Mulia.

Sementara kalimat orang-orang yang makan adalah mereka yang telah dihidangkan maidah bagi mereka serta mereka menerima dan memakannya. Hidangan dari Allah adalah takdir kehidupan yang kita terima tiap saat. Allah menghidangkannya dalam bentuk urusan-urusan yang berbagai macam. Sebagaimana hidangan, urusan yang dihadirkan harus kita makan dengan perlahan. Memakannya adalah menerimanya serta bersyukur dan bersabar atasnya. Hingga manusia kuat untuk menerima Al-Maidah, yakni amr atau urusan yang satu itu.

PENUTUP

Singkatnya adalah bahwa sebuah urusan/amr dalam hidup manusia, dalam bentuk apa pun, adalah turun dari sebuah ‘urusan yang satu’ dari sisi-Nya. Sifat sebuah amr seperti halnya air yang turun, ia “menyucikan” dari segala kekufuran sebagaimana hujan menghanyutkan kekufuran kaum Nabi Nuh as, “meneguhkan” sebagaimana hujan meneguhkan ahli badar ketika ditimpa keraguan di pertemuan dua pasukan, dan “menumbuhkan” benih pohon taqwa dalam diiri manusia. Mengapa? Karena sejatinya semua amr yang turun akan membuka fitrah. Fithrah itu sesungguhnya adalah amr yang satu. Fithrah sebagaimana bahasanya adalah sesuatu yang pecah atau terbelah. Berbagi akar kata yang sama dengan kata kerja fathara yang artinya dia memecah sesuatu. Fithrah ibarat benih yang terbelah atau pecah dan darinya keluar tunas yang nantinya akan tumbuh menjadi sebuah pohon. Asma Allah Al-Fathir adalah Dia yang menciptakan makhluq dengan sebuah fithrah. “fithrah Allah, yang telah menciptakan (fathara) manusia menurut fithrah itu” (Ar Ruum, 30 :30).

Akhirnya dibalik semua yang ditulis disini, saya hanya ingin mengajak segenap sahabat-sahabat saya untuk menerima kehidupan ini dengan penerimaan yang sebaik-baiknya. Perlakukan dia sebagai tamu jauh yang datang bertamu ke dalam rumah kita dan membawa berita gembira dari negeri yang jauh. Karena segenap masa lalu adalah pintu-pintu untuk menemukan rahasia terbesar dalam sejarah kehadiran manusia, yakni jawaban atas eksistensi dirinya di muka bumi ini. Bahkan lebih dari itu semoga kita dapat mengenal Allah Ta’ala dalam pengenalan yang sebenar-benarnya.

Selamat memasuki Bulan Ramadhan, bulan turunnya Qadar dan Amr. Selamat berpuasa, dan selamat berbuka. Sebaik-baik berbuka (Ifthar) adalah terbukanya fithrah diri yang sejati. Selamat merayakan fithrah di hari kembali ke fithrah (Idul Fithri). Serta selamat memasuki bulan Haji, semoga kita suatu saat dapat menjadi hujjah bagi Rabbul ‘alamin.
Mohon dimaafkan atas segala kesalahan.

Dago Asri, Bandung.
Nisfu Sya’ban 1435 H.

1 komentar: