Adakah
yang pernah mengatakan kepada kalian, waktu itu adalah lingkaran nasib
yang berputar tanpa henti? Siang-malam, pagi-petang, sepanjang tahun tak
pernah rehat. Dalam setiap kesempatan putaran nasibnya selalu terjadi
tiga kemungkinan. Paralel,bergerak,serentak. Jikalah waktu bisa
dimapatkan menjadi benda padat, lantas diletakkan diatas lintasan
sirkular, maka kalian bisa menyaksikan laksana tiga ekor kuda pacuan yang membelah sirkuit. Kencang memedihkan mata. Berputar-putar tanpa henti jutaan lap.
Masalahnya, selama ini kita tidak pernah terlalu peduli soal rentetan detik dan menit, kecuali menyangkut tentang kapan makan siang, kapan masuk kerja, kapan pulang kerja, kapan gajian tiba dan kapan hari-hari libur. Kebanyakan dari kita lebih peduli tentang nasib.
Celakanya, seperti waktu, tidak satupun diantara kita yang tahu persis apa hakikat nasib sebenarnya. Jika kalian tak mengerti, sederhananya begini… salah seorang temanku-lulusan terbaik departemen fisika princenton pernah berkata, “Memegang panci panas sedetik terasa sejam, tetapi memegang wanita “panas’ sejam terasa sedetik.” Bedanya, tidak seperti waktu, relativitas nasib sudah diterjemahkan dengan maju oleh manusia di seluruh muka bumi melalui ukuran tertentu, yang sayang sekali ukuran tersebut mutlak berasal dari kesepakatan mereka. Kesepakatan yang berani dan ceroboh sekali.
Bagaimana kalian tahu seseorang yang baru dipecat dari kantornya, lantas kehilangan mobil, sekaligus diceraikan istrinya berarti ia sedang bernasib sial? Itu hanya soal stigma masyarakat. Bagaimana pula kalian bisa menyimpulkan seseorang yang mendapatkan pekerjaan baru, gaji tinggi, dan prospek karier hebat berarti ia sedang bernasib baik? Itu lebih karena kalian mempercayai dogma yang ada dilingkungan sekitar kalian.
*Dikutip dari kumpulan cerpen Tere-Liye yang berjudul "Berjuta Rasanya" pada hal 167 dengan judul- Lily dan Tiga Pria Itu
Masalahnya, selama ini kita tidak pernah terlalu peduli soal rentetan detik dan menit, kecuali menyangkut tentang kapan makan siang, kapan masuk kerja, kapan pulang kerja, kapan gajian tiba dan kapan hari-hari libur. Kebanyakan dari kita lebih peduli tentang nasib.
Celakanya, seperti waktu, tidak satupun diantara kita yang tahu persis apa hakikat nasib sebenarnya. Jika kalian tak mengerti, sederhananya begini… salah seorang temanku-lulusan terbaik departemen fisika princenton pernah berkata, “Memegang panci panas sedetik terasa sejam, tetapi memegang wanita “panas’ sejam terasa sedetik.” Bedanya, tidak seperti waktu, relativitas nasib sudah diterjemahkan dengan maju oleh manusia di seluruh muka bumi melalui ukuran tertentu, yang sayang sekali ukuran tersebut mutlak berasal dari kesepakatan mereka. Kesepakatan yang berani dan ceroboh sekali.
Bagaimana kalian tahu seseorang yang baru dipecat dari kantornya, lantas kehilangan mobil, sekaligus diceraikan istrinya berarti ia sedang bernasib sial? Itu hanya soal stigma masyarakat. Bagaimana pula kalian bisa menyimpulkan seseorang yang mendapatkan pekerjaan baru, gaji tinggi, dan prospek karier hebat berarti ia sedang bernasib baik? Itu lebih karena kalian mempercayai dogma yang ada dilingkungan sekitar kalian.
*Dikutip dari kumpulan cerpen Tere-Liye yang berjudul "Berjuta Rasanya" pada hal 167 dengan judul- Lily dan Tiga Pria Itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar