Kamis, 04 September 2014

Puan

Puan, sendirian aku duduk menyepi di pematang senja, mencoba kembali mengeja makna cinta, merangkai rasa, merangkum rindu, tanpa berani aku mengusik ilalang-ilalang yang bergoyang kesana-kemari di terpa angin lalu, bak para penari sufi yang kehilangan kesadaran dunianya, fana dalam pusaran cinta yang memabukkan jiwa.

Entahlah Puan, akhir-akhir ini aku lebih suka sendiri saja, mencoba kembali mereka-reka setiap sudut dan guratan wajahmu, yang terakhir kali dapat kunikmati kepesonaanya setahun lalu, saat kita berdua menikmati pertunjukan senja yang puncaknya adalah saat matahari perlahan terbenam anggun, bak bidadari tertutupi hijab jingga, ah, aku rasa tak kalah pesonanya adalah saat kedua mataku tiada henti memata-matai permukaan wajahmu yang tersapuh kilauan jingga, mengucap segenap inderaku, memuji kehadiratNya.

Puan, adakah kita menatap senja yang sama, awan yang sama, langit yang sama, dan pada tiap detiknya, jantung kita berdetak pelan, mendetakkan nama yang sama, Allah ... Allah ... Allah ... hanya kepada Dia kita memasrahkan segala-galanya bukan?

Kutunggu kau Puan, disini, tempat dimana tiga unsur tumbuh tak terkira: pertemuan, rindu, dan cinta, dan satu unsur yang membuat kita terasa jauh; perpisahan. Tentulah Puan, hanya kedatanganmu yang sanggup melebur itu semua menjadi satu unsur terindah, Senyuman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar