Oleh Zamzam Ahmad Jamaluddin Tanuwijaya
WAJAH Allah Azza Wa Jalla adalah
aspek dzahir dari Dia, yang dari sisi wajah-Nya ini memancar
cahaya keindahan-Nya. Sebagaimana makna cahaya adalah sesuatu yang
membuat dzahirnya segala sesuatu dengannya, maka An-Nuur secara
mutlak merupakan isim (nama) dari asma-asma Allah Ta’ala yang
mengibaratkan sesuatu yang sangat dzahir serta dzahir-nya
segala sesuatu disebabkan keberadaannya. Wajah Allah merupakan hijab rahmat
bagi semesta alam yang tanpa itu 18.000 alam akan musnah ditelan Wujud-Nya.
“Sesungguhnya Allah menciptakan
makhluk dalam kegelapan, kemudian dia limpahkan atas mereka secercah
cahaya-Nya.” (Hadits Nabi)
Semesta alam-alam yang Dia ciptakan
dalam kegelapan, tanpa cahaya Ar-Rahmaan tak akan mampu menyadari
keberadaan penciptanya, bahkan dirinya sendiri. Tiupan rahmat dan
pemeliharaan-Nya kemudian yang memekarkan setiap titik ciptaan dari status
awalnya yang tanpa nama sehingga terpakaikan kepadanya pakaian wujud. Setiap
wujud yang ditampakan oleh cahaya-Nya merupakan pernyataan dari himpunan
asma-asma Allah, bahkan asma-asma Allah itu sendiri yang tetap tegak oleh
tajali ilahiyyah yang terus menerus.
Di antara himpunan asma-asma Nya
yang tak terhitung terdapat asma teragung-Nya,Ismul Adzham, merupakan
cahaya Allah paling terang diantara limpahan cahaya-cahaya yang menunjuk
kepada-Nya. Cahaya Allah teragung ini merupakan cahaya sumber tempat
cahaya-cahaya mengambil cahayanya.
“Allah cahaya petala langit dan
bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang didalamnya terdapat
pelita terang. Pelita tersebut didalam kaca, kaca itu seakan-akan kaukab yang
berkilau dinyalakan (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya; pohon zaitun
yang tumbuh tidak disebelah timur dan tidak pula disebelah barat, yang
minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya diatas
cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki dan
Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (Q.S. An Nuur:35)
Dengan mempergunakan
cahaya-Nya, Rabbul ‘Alamin mendzahirkan tujuh petala
langit dan bumi. Tanpa cahaya-Nya seluruh ciptaan akan berada dalam kegelapan.
Kehadiran cahaya Allah merupakan syarat utama atau sebab awal bagi
tegaknya kaun(semesta) langit dan bumi.
Apa yang Allah Ta’ala ungkapkan
dalam An-Nuur : 35 adalah tentang insan Ilahi, tentang manusia yang menyandang
gelar cahaya Allah yang tanpa kehadiran cahaya Allah ini di alam syahadah maka
seluruh jagat raya lenyap; insan cahaya ini merupakan segel yang menjaga petala
langit dan bumi dari keruntuhannya, juga yang menyematkan kepada-Nya asma Al
Hafidzh (Sang Penjaga).
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya
siapa-siapa yang Dia kehendaki”, bagian
ayat Allah ini menunjukan bahwa tidak semua manusia, bahkan sebagian
besar manusia, tidak berperan sebagaimana yang semestinya, sebagai cahaya
Allah.
Cahaya Allah atau insan Ilahi ini
diibaratkan dengan misykat, fash, atau ceruk, lubang
tak tembus yang didalamnya tedapat pelita terang. Misykat melambangkan
kegelapan jasad insan, merupakan tempat bertemunya dua lautan, lautan yang
mengalir dari mata air ubudiyyah hamba dan lautan yang
bersumber dari ketinggian Uluhiyyah-Nya. Aspek ubudiyyah insan
keluar dari sisi jasad dan jiwa insan (nafs), sedangkan apa yang
datang dari aspek Uluhiyyah adalah Amr-Nya Ruh
Al-Quds, yang dilambangkan dengan pelita atau api yang terang nyalanya.
Jasad insan merupakan wujud yang
dibangun dari aspek al-ardh (kebumian); sedangkan nafs insan
yang karena kejernihan wujudnya bagaikan kaca, dilabel oleh kata as-samaa’i (langit).
Jadi as-samaa’i dun-ya dan al-ardh melambangkan
pasangan jiwa dan raga insan yang pada jenjang tertentu keduanya telah berperan
sebagai cahaya Allah Ta’ala, saksi Allah sejati. Dalam persoalan mengabdi
kepada Al-Khaliq(sang pencipta), nafs insan merupakan imam bagi
jasad dimana pasangan ini akan bertindak sebagai pelaku utama dalam persoalan
pengungkapan khazanah Ilahi.
“Aku adalah harta tersembunyi (kanzun
makhfiy), Aku rindu untuk dikenal, karena itu aku ciptakan makhluk agar aku
diketahui.” (Hadits Qudsi)
Sedangkan tiupan atau nafas ruh (jamak: arwah)
ke dalam diri insan merupakan ujung dari nafas panjang Rububiyyah,
yang dilambangkan dengan cahaya jernih yang mengisi ruang-ruang petala
langit, as-samawaati. Jadi nafs insan merupakan langit pertama,
langit terdekat ke sisi jasad, dari tujuh langit malakut yang berlabuh didalam
jasad insan.
Jasad atau jism insan
merupakan rumah atau wadah bagi nafs insan, dan qalb darinafs yang
telah diterangi cahaya taqwa merupakan rumah bagi Ar-Ruh yang
datang dari sisi-Nya.
Kehadiran Ruh Al-Quds ke dalam nafs
insan dan menetapnya Ar-Ruh ini di dalam qalb merupakan satu persoalan yang
mengakibatkan manusia tersebut digelari Rumah Cahaya Allah, baitullah, atau ahlul
bait.
“Tidak memuat-Ku bagi-Ku petala
langit dan bumi-Ku, yang memuatKu hanyalah qalb hamba
-hamba-Ku yang mu’min.” (Hadits Qudsi)
Zujajah atau bola kaca yang jernih melambangkan kejernihan qalb di
dalam nafs yang kudus. Terangnya qalb merupakan
syarat utama agar api Ruh menetap di qalb, merupakan cahaya yang
memancar dari dalam nafs yang diberkati Allah Ta’ala; tidak ada tempat bagi
cahaya kecuali cahaya. Zujajah yang terang ini bagaikan sebuah
bola langit malam yang gemerlap oleh taburan benda-benda langit, bagaikan
sebuah mutiara yang berkilau diterpa cahaya yang meneranginya.
Kaukab adalah benda langit yang menyala tetap dan hanya
bercahaya jika ada cahaya yang menerpanya, sehingga bola langit yang dibangun
oleh taburan kawaakib (jamak dari kaukab) yang
bersinar cemerlang menghiasai ruang langit pertama, mengibaratkan qalb yang
bersinar menerangi nafs mukmin.
Bersinarnya kaukab kalbu
ini karena adanya minyak yang menyalakannya, minyak yang bercahaya walau tanpa
disentuh api, minyak yang keluar dari pohon yang banyak berkahnya. Pohon yang
tidak tumbuh disebelah barat, tidak pula disebelah timur; tidak tumbuh di
barat, di tempat tenggelamnya matahari Al-Haqq, tidak pula di timur,
di tempat terbitnya matahari Al-Haqq; di baratnya ada jasad insan
dan di timurnya ada Ruh Allah . Pohon ini tumbuh tidak diufuk diri, tetapi
tumbuh ditengah-tengah antara aspek jasad dan aspek ruh, yaitu di nafs insan.
Allah Ta’ala menanam benih pohon ini
pada suatu lahan dipermukaan bumi diri yang telah dirahmati dengan kesucian
iman dan kesuburan, pada batas persentuhan antara urusan bumi jasad dan langit
jiwa. Dengan memohon taufiq dan rahmat-Nya, benih ini
merupakan suatu persoalan yang harus ditumbuhkan di dalam diri setiap insan
utama. Pohon ini ditumbuhkan dengan iman, amal shalih dan akhlaq
mulia yang membuat ridha dan senang Sang Penanamnya, sehingga Dia
memberkati pohon yang sedang tumbuh ini dengan perawatan dan perlindungan yang
baik agar tumbuh kuat dan berbuah banyak.
Allah Ta’ala menamai pohon yang
menjadi pemberi nyala kaukab qalb ini, yang tumbuh menjulang
dari bumi diri dan cabang-cabangnya merentang dan berbuah di langit jiwa,
sebagai al-kalimah, kalimah Allah, atau kalimah yang datang dari
sisi-Nya.
“Tidakkah kamu melihat bagaimana
Allah telah membuat perumpamaan bagi kalimah yang baik adalah bagaikan sebuah
pohon yang baik, akarnya kokoh dan cabang-cabangnya (merentang) di langit.
Pohon itu berbuah pada setiap musim dengan seizin Rabb-Nya. Dan Allah membuat
perumpamaan bagi manusia agar mereka selalu ingat.”(Q.S. Ibrahim : 24-25)
Akar pohon ini melambangkan
aspek-aspek keimanan yang diteguhkan oleh Nur Iman, akarnya kokoh
menghujam bumi diri dan bumi jagat secara mutasyabih. Batang pohon
melambangkan ketaqwaan yang tumbuh diatas landasan akar keimanan yang kokoh;
seperti yang Rasulullah SAW ungkapkan bahwa buah-buah keihsanan yang dihasilkan
dari pohon taqwa ini, dari kalimah at-taqwa, adalah al-hasanah.
Sari yang dihasilkan al-hasanah berupa minyak yang berkilau
terang menampakkan wajah pengetahuan tersembunyi, pengetahuan tentang haqiqah kehidupan,
pengetahuan tentang rahasia Al-Haqq.
“Iman itu telanjang, pakaiannya
taqwa, buahnya ilmu dan hiasannya malu.” (Al-Hadits)
“Bertaqwalah kepada Allah, maka
Allah akan mengajarimu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah : 282)
Tidak ada yang datang kepada cahaya
kecuali cahaya, maka kaukab qalb yang ternyalakan indah oleh
minyak zaitun merupakan arsy (singgasana) bagi api Al-Aziz,utusan-Nya; Arsy Allah
ini berdiri diatas kursiy-Nya berupa kekuasaan atas dua kerajaan,
yaitu kerajaan petala langit nafsiyyah dan bumi jism, malakut dan mulk.Ranting-ranting
kaya minyak yang menghijau khidr diketinggian langit jiwa merupakan gambaran
suburnya ketaqwaan, sebagai buah dari pengabdian dan penyerahan diri yang dalam
kepada Al-Malikul Qudduus, akan segera terkuduskan oleh medan
cahaya api suci-Nya yang penuh berkah, api Ruh Al-Quds.
“Yang menjadikan bagimu api dari
pohon yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan dari pohon itu (api).” (Q.S. Yaasiin : 80)
“Bahwa ketika dia tiba di api itu,
diserulah dia, ‘Diberkati orang-orang yang berada di dalam api dan orang-orang
yang berada disekitarnya. Dan Subhanallah, Rabbul ‘Alamin.’”(Q.S. An-Naml : 8 )
Qalb yang suci bagaikan bola lampu kristal yang jernih dan
tampak titik apinya, tempat bertemunya minyak dan api, dari luarnya diterangi
oleh cahaya iman sedangkan di dalamnya diterangi cahaya ruh suci; sehingga
terberkatilah dua rumah: rumah jiwa dan rumah jasad oleh cahaya-cahaya
tersebut.
Lampu jiwa ini merupakan cahaya
pemandu dan sumber kekuatan (sulthan) bagi nafs sebagai
hakikat sejati insan, fokus utama pendidikan Ilahi tujuan alam semesta
dihamparkan, agar mi’raj menembus tujuh lapis langit ruhani,
untuk ma’rifatullah.Maka yang disebut insan Ilahi, cahaya Allah,
adalah insan yang api jiwanya telah dinyalakan Allah Ta’ala, telah diperkuat
oleh cahaya ilmu dan cahaya ma’rifat. Insan seperti ini
memiliki struktur seperti yang digambarkan di dalam surat An-Nuur ayat 35,
cahaya diatas cahaya, nuurun alan-nuur.
Misykat, zujajah dan pohon zaitun adalah persoalan yang datang dari
aspekubudiyyah, merupakan pasangan bagi api al-misbah yaitu
urusan yang datang dari aspek Uluhiyyah-Nya; persoalan yang
diidentifikasi oleh hakikat pasangan perempuan dan laki-laki.
Lubang pada misykat yang
mengarah kesatu arah, adalah pintu-pintu indra di jasad insan yang terbuka ke
alam syahadah. Jika kaukab qalb menyala maka indera-indera
jasad akan memperoleh kekuatan tambahan, kekuatan ruhaniah, sehingga cahaya
yang terbit pada pintu-pintu indera tidak hanya menampakkan alam syahadah tetapi
juga alam malakut yang menyertainya, yaitu hakikat kaun, hakikat
ayat-ayat Allah yaitu wajah Al-Haqq.
Apa yang menyala di lubang-lubang
misykat jasad adalah cahaya yang memperoleh saluran yang berbeda-beda ke alam
syahadah, cahaya itu yang melihat, cahaya itu yang mendengar, cahaya itu yang
merasa.
Terdapat kesimetrian persoalan pada
apa-apa yang diliputi oleh misykat jasad dengan apa-apa yang diliputi oleh
misykat jagat. Di dalam misykat jasad insan berlabuh tujuh langit malakut
sedangkan diatas jasad insan membentang tujuh langit kaun yang tegak berdiri
tanpa tiang.
Batas terluar dari langit-langit
jagat raya adalah misykat jagat. Setiap lapisan langit jagat tetap tegak
terpelihara selama segel-segel yang bersesuaian hadir di alam semesta: seorang
dengan maqam langit ke empat adalah segel bagi urusan-urusan
di langit empat jagat. Sedangkan misykat jagat adalah kegelapan kaun, merupakan
wadah jagat raya, batas luar dari satu urusan Rububiyyah-Nya.
Ruh yang memberi kehidupan pada
jagat raya adalah cahaya yang menampakkan jagat raya, sehingga bertasbih
mengikuti kehendak-Nya, adalah Nur Muhammadiyyahyang memancar
dari qalb alam semesta. Jantungnya kehidupan semesta adalah
Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam yang tanpanya alam semesta
tempat para Nabi dan Rabbani, sebagai kaukab-kaukab cahaya
yang mengelilinginya, mengambil cahaya dan kekuatan ruhaninya. Maka seorang
dengan maqam langit tujuh ini merupakan sebab awal sehingga
tujuh petala langit jagat dipelihara oleh Rabb alam semesta.
Dibentuknya misykat jagat
dan misykat diri tak lain agar dian (lentera) jagat dan
dian-dian insan dinyalakan sehingga cahaya-cahaya keluar dari setiap lubang
misykat menyala ke satu arah yaitu Wajah-Nya, menyala untuk kepentingan-Nya,
dan kebahagiaan insan sejati terletak pada terhubungnya cahaya dengan
cahaya-cahaya Kemuliaan-Nya.
Dari setiap langit kaun dikeluarkan
masing-masing 1000 alam beserta urusan-urusan dan ahli-ahlinya yang ditata
didalamnya; dari setiap langit jiwa keluar 1000 peringkat kejiwaan,
urusan-urusan dan ahli-ahlinya, dan dari setiap unsur kebumian (tanah, air,
api, udara) juga keluar 1000 alam beserta urusan-urusan dan ahli-ahlinya
sehingga alam semesta dalam satu urusan Rububiyyah berjumlah
18.000 alam.
Perpaduan jasad dan nafs kudus
insan ibaratnya perpaduan antara rasa dan kaca yang jernih, membentuk sebuah
cermin yang sempurna, suatu kesempurnaan perwujudan insan yang tidak dimiliki
baik oleh wujud hewan yang kusam maupun wujud malaikat yang jernih.
Cermin yang memantulkan wajah Al-Haqq secara
sempurna adalah cermin insan kamil(manusia yang sempurna), cermin
yang rasah (lapisan dasar kaca cermin yang memantulkan
bayangan) jasad maupun kaca jiwanya telah digosok dan dikilapkan oleh syariat
Allah, insan yang telah ditata dirinya dengan syari’at dzahir dan
syari’atbathin.
Tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) membuka jalan bagi tajalli
Ilahiyyah dimana Keindahan dan Kekuasaan-Nya akan membayang di cermin
diri. Harta terpendam-Nya berupa pengetahuan Al-Haqq dan
cahaya ma’rifah yang berlabuh di qalb jiwa
yang taqwa, merembes ke jasad insan dan keluar dari lubang-lubang misykat, bagaikan
curahan air yang keluar dari sejumlah mata air pengetahuan.
Kaun, alam semesta, selain sebagai cermin bagi insan kamil untuk
melihat kekhususan dan keistimewaan dirinya ditengah-tengah kaun, juga sebagai
buku pengetahuan yang harus diuraikan; dan Insan Kamil (manusia
yang sempurna) selain berperan sebagai cermin sempurna bagi Dia untuk melihat
Kesempurnaan-Nya, juga bagi-Nya sebagaihadrah (hadirat) tempat
menguraikan dan mengeluarkan khazanah-khazanah terpendam-Nya agar menjadi
rahmat bagi semua alam. Kaun adalah ayat-ayat yang membayang
di dalamnya pengetahuan Ilahiyyah secara mutasyabihan, merupakan
suatu beda potensial yang memancing air pengetahuan keluar dari
sumber-sumbernya.
Manusia Ilahi dipercaya sebagai
wakil Allah di alam semesta, selain sebagai segel alam semesta juga sebagai
pintu bagi alam semesta untuk melihat Sang Pencipta, mengenal-Nya; kehadiran
Keindahan dan Kekuasaan Ilahi yang membayang dalam diri insan Ilahi merupakan
jembatan rahmat (penolong) bagi alam semesta untuk berjalan mengenal-Nya, insan
Ilahi adalah tangan Kepemurahan-Nya (surratur-Rahmaan) yang
membawa seluruh alam semesta menjadi peningkat derajatnya. Inilah amanah yang
diembankan kepada insan Ilahi yang dipercaya sebagai ruh dan cahaya kehidupan
bagi seluruh alam semesta, semuanya adalah cermin yang saling berhadap-hadapan,
seimbang tanpa cacat.
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan
amanah kepada petala langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk
memikulnya dan mereka takut akan (amanah) ini, dan dipikullah amanah itu oleh
manusia. Sedang keadaan manusia itu amat zalim dan amat bodoh”(Q.S. Al-Ahzab: 72)
Misykat jasad yang di dalamnya
dinyalakan cahaya-cahaya qudrah-Nya adalah mereka yang telah
menjadi baytullah, tempat yang terpercaya untuk dikumandangkan
pengetahuan-pengetahuan tertinggi dan asma-asma -Nya.
“Di rumah-rumah yang diizinkan Allah
untuk ditinggikan dan disebut didalamnya asma-Nya, bertasbih kepada-Nya
didalamnya diwaktu pagi dan petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan
dan jual beli dari mengingat Allah dan mendirikan shalat dan membayar zakat.
Mereka takut kepada suatu hari yang qalb dan penglihatan mereka menjadi
guncang.” (Q.S. An-Nuur : 36-37)
Manusia yang tidak menyala qalb-nya oleh
Nur Iman, tidak akan bisa menyalakan zujajah kalbunya sehingga
tidak pernah tersedia di dalamnya singgasana cahaya bagi api-Nya, tidak akan
pernah menjadi khalifah walau bagi dirinya sendiri. Maka insan seperti ini
bagaikan rumah dengan lorong-lorong yang gelap gulita karena kusam tubuhnya dan
padam lampunya, tidak diisi melainkan oleh tipuan ilusi, hawa nafsunya dan
jejak syaithan; tidak ada seorang pun yang mampu menghidupkan rumah seperti ini
kecuali Allah Azza wa Jalla, tempat tumpuan harapan seluruh alam.
“Seperti gelap gulita di lautan yang
dalam yang diliputi oleh ombak yang di atasnya ombak, di atasnya awan. Gelap
gulita yang bertindih-tindih, apabila dia mengeluarkan tangannya hampir-hampir
tidak melihatnya. Dan barangsiapa tidak diberi cahaya oleh Allah, tiadalah dia
memiliki cahaya sedikitpun.”(Q.S.
An-Nuur : 40)
(Dari Jurnal Suluk Ruh
Al-Quds; Volume 1 tahun 1; 2001: PICTS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar