Sebenarnya aku tak ingin menuliskan apa-apa malam ini. Aku sedikit
lelah. Urat-urat bahuku terasa menegang. Perih. Belum lagi lutut kananku
lecet sehabis main futsal tadi. Aku ingin tidur cepat malam ini. Tapi
urung, ya beginilah aku yang entah sejak kapan terserang insomnia akut.
Sangat sulit untuk memejamkan mata, walaupun mulutku sudah menguap
lebar. Fikiranku kemana-kemana, tak tentu arah. Apa yang terjadi? Kenapa
aku bisa seperti ini. Apa yang sebenarnya mengganjal dilubuk hati.
Apakah malam-malamku dihiasi oleh kekecewaan karna sampai detik ini aku
belum bisa membanggakan Ibuku. Ah,,, Ibu. Ananda rindumu Ibu. Duhai
angin malam, bawalah senandung rinduku ini ke bumi Pasaman sana, tempat
Ibu tengah terlelap di atas dipan-nya. Bisikkan padanya, jika bujangnya
ini rindu padanya. Ah,,, Bapak. Apa kabar kau disana? Engkau yang telah
ada disebuah dimensi yang tak kukenal dan tak mungkin bisa kugapai.
Andaikan Tuhan memperlihatkan tangga-tangga langit dan membukakan
pintu-pintu langit untukku, tentu saja aku akan bertanya pada para
penduduk-penduduk langit, pada para malaikat-malaikat, dan tentu saja
kepada Engkau Ya Rabb, yang maha menggenggam jiwa-jiwa hambanya yang
telah tiada, aku akan bertanya dimana Bapakku tengah berada. Apakah
beliau termasuk hamba-hambaMu yang beruntung. Sudah lama bujangmu ini
tak menzirahi makammu di bumi pariaman sana. Ditepi pantai sunur. Entah
kapan aku bisa kesana lagi. Anakmu ini sudah jauh dirantau orang. Bapak,
dimanapun engkau berada, kau harus dengar jika bujang bungsumu ini
sangat rindu dan menyayangimu. Hanya do'a, do'a dan do'a yang akan terus
kupanjatkan untukmu. Apakah kau mendengarnya pak? Tak apalah jika kau
tak bisa mendengarnya, tentulah Tuhan akan bermurah hati mengutus
malaikatNya untuk menyampaikan salamku ini padamu. Aku "Arif Budiman" ,
begitu kalian berdua telah memberikan nama untukku. Ah nama yang sungguh
rancak, sampai-sampai berat aku memikul nama mulia itu, karna aku takut
sifat-sifatku tak sesuai dengan nama yang kalian beri. Aku menyayangi
kalian berdua, alm Bapak dan Ibu.
Saya punya Ayah, hanya saja saya menjadi beku terlalu pengecut untuk mengungkapkan rasa mencintai nya.
BalasHapusSelama bertahun-tahun kemudian, alam bawah sadar saya berujar, Ayah berutang kata “maaf” kepada saya. Maaf untuk perjalanan waktu penuh kesulitan yang saya lampaui sendiri, ketika pada rentang waktu itu saya sangat ingin mengadu kepadanya.
Belakangan, saya mulai berpikir, tidak perlu lagi kata “maaf” itu. Dipikir-pikir, sekelabu apa pun masa lalu, hal itu membawa hikmah di masa kini. Mungkin, jika saya tidak mengalami masa pesakitan sewaktu SD dan SMP, saya tidak akan menjadi pribadi yang keras tekad . Barangkali, jika tidak memerah mata karena tak tega melihat semua pengorbanan Mama, saya akan menuruti keinginan , seseorang untuk meneruskan pendidikan di tempat yang saya suka bahkan sampai ke luar negeri. Jika saya mengiyakan tawaran seseorang itu ke saya belum tentu hidup saya masih penuh warna seperti ini.
Kalau saya tidak pernah menjadi gadis bermata sendu dan penulis diary, kesukaan saya terhadap dunia kepenulisan mungkin tidak akan pernah terasah. Jika itu terjadi, mungkin saya tidak akan pernah menjadi penulis. Jika saya tidak pernah menjadi penulis, mungkin saya tidak pernah menyusun tulisan ini
Jadi, untuk kemudian menghadirkan rasa cinta itu, tak perlu lagilah kata “maaf”, ternyata. Terlebih sekarang, ketika orang tua saya tidak ada. Saya yakin, pada dasar hati yang jauh, ayah memang sebagaimana seorang ayah seharusnya. Mencintai anak-anaknya dengan caranya sendiri.
Tidak ada yang salah dari masa lalu selama itu membentuk kedewasaan seseorang. Saya mulai meyakini itu. Saya tidak lagi menyalahkan siapa-siapa. Meskipun begitu, saya tidak melakukannya hanya karena argumentasi “bagaimanapun juga dia ayahmu,, darah dagingmu.”
Bukan. Bukan karena itu.
Ini lebih dikarenakan perenungan bahwa setiap peristiwa yang tampak buruk di mata manusia barangkali itu yang terbaik bagi dirinya.
Seperti itu Tuhan berkata.
(separuh isi Blog ku yang membahas tentang ayah