Di dalam pesawat
aku menemukan jawabannya
Burung besi
berkapasitas 200 orang yang tengah mengandung aku dan penumpang lainnya telah
berada di ketinggian ribuan kaki, setidaknya itulah yang kudengar pengeras
suara dalam pesawat. Rasa gamang berada di ketinggian masih saja menyiksaku.
Jangankan di ketinggian ribuan kaki, sedangkan berada di lantai bertingkat atau
di atas pohon tinggi saja aku masih gamang. Sepertinya aku benar-benar phobia
ketinggian. Sampai detik ini aku belum bisa menghilangkannya. Dan syukur,
cantik paras para pramugari ini sedikit membantuku menghadapi kegugupan yang sedari
tadi, saat pesawat lepas landas.
Dua orang
pramugari tinggi semampai berjalan di tengah dek pesawat, sambil mendorong
kereta yang di atasnya pernak pernik. Seorang Ibu disebelahku tertarik
membelinya. Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, menarik nafas sejenak,
dan sesekali bertasbih memuji kebesaran ciptaanya yang maha indah. Lihatlah
seperti ada yang iseng mengatur awan-awan itu menyerupai gundukan-gundukan
bukit atau serupa cawan dimusim penghujan. Mataku takjub menatap itu semua. Dan
hei! Entah kenapa salah satu awan tersebut membentuk sebuah paras manis yang
sangat kukenal wajahnya. Dan paras itu kini telah tertinggal jauh dibawah ribuan
kaki jaraknya. Paras manis yang menyerupai awan itu bernama Siska.
***
Hari itu, selasa
1 November. Di sebuah toko buku terbesar di kota kami. Sebuah skenario telah
dituliskan oleh raja semesta . Hari itu aku di pertemukan oleh seorang wanita
berparas manis, yang aku kenal saat kami tak sengaja saling bertabrakan satu
sama lain. Dan lucunya setelah buku yang kami beli jatuh ke lantai, kami
sama-sama salah memungut buku tersebut. Aku memungut bukunya dan dia memungut
buku ku. Dan kami tidak sadar, hingga saat antrian di kasir barulah kami
sama-sama menyadari jika buku yang kami pegang sama-sama salah. Aku memegang
buku tentang kesehatan, sementara dia memegang sebuah novel karangan Tere Liye.
Dan kebetulan aku berdiri tepat dibelakangnya. Dia menoleh ke arahku sambil
tersenyum tipis dan melambaikan buku yang ada ditangannya.
“Haloo, bukankah
ini buku anda?”
“Bukankah ini
juga buku anda?” Jawabku dengan balik bertanya dan menirukan gayanya.
Kami tertawa
renyah dan saling menukar buku kembali. Seorang petugas kasir tersenyum menatap
tingkah kami berdua. Dan resmi hari itu aku berkenalan dengan gadis itu.
Namanya Siska. Ah, pucuk di cinta ulam pun tiba, malam itu kami memutuskan
sama-sama jalan kaki pulang kerumah, yang kebetulan tempat tinggalku dan tempat
tinggalnya berdekatan, cuma beda satu gang. Matahari sudah berada di ufuk
barat, sebentar lagi senja akan menyapa. Terlihat sepasang camar berarak pulang
ke sarangnya. Ah nampaknya alampun mengerti getar-getar belum bernama yang
menghuni ruang hatiku ini. Entah didalam hatinya, aku tidak tahu.
Hari demi hari
kami tambah dekat. Hubungan kami tidak lagi sebatas saling menyapa lewat pesan singkat dan telfon
hanya untuk sekedar bertanya sedang apa, lagi dimana, sudah makan apa belum, ah
basi sekali terasa. Kami jadi sering pergi berdua, sekedar makan berdua,
menikmati senja, ke pantai, atau sekedar menghabiskan waktu di toko buku
favorit kami. Kebetulan di toko buku tersebut terdapat sebuah kafe kecil di
lantai paling atas. Pemandangan dari sana sangatlah indah. Biasanya setelah
membeli buku kami pasti langsung menuju lantai atas dan membacanya. Ah, dia
tidak lagi sedang membaca buku kesehatan, tapi dia sedang membaca sebuah novel.
Iseng aku bertanya padanya,
“Sejak kapan kau
suka membaca novel?
“Ya sejak kenal kamulah, Bram..” jawabnya ringan.
“Ya sejak kenal kamulah, Bram..” jawabnya ringan.
Aku tersenyum
lebar mendengar jawabannya. Dan getar halus tak bernama itu semakin dalam
menyusup relung hati. Aku ingin sekali memberi nama getaran halus itu
secepatnya. Tapi apakah itu layak? Baru tiga minggu berkenalan. Dan masih banyak
hal yang belum aku tahu tentangnya, masa lalunya, ah tidak, bukan itu. Apalah
arti masa lalu jika masa sekarang terasa lebih indah dan bermakna. Aku harus
bertanya perihal statusnya saat ini. Hmm maksudku apakah saat ini dia masih
sendiri? Ah bodoh sekali, tentu saja dia masih sendiri dan jelas belum
bersuami. Eh bukan, maksudku apakah saat ini dia punya teman dekat pria atau
punya hubungan spesial dengan seorang pria selain diriku? Ah, gede rasa sekali
diriku, baru kenal sudah ngaku-ngaku teman dekatnya. Berhari-hari
pertanyaan-pertanyaan tak jelas menari-nari di laman benakku. Semuanya tentu
saja tentang dia. Tentang Siska. Malam-malam terasa lebih panjang dari
biasanya. Ah, resah ini menggulana di dalam dada.
***
Hari itu, hari
yang sangat membahagiakan dalam hidupku. Hari dimana aku resmi di wisuda dan
meraih gelar sarjana. Keluarga besarku datang, dan hari itu pula aku resmi
mengenalkannya ke kedua orang tua dan keluarga besarku. Dia terlihat memesona
dengan gaun biru muda selutut. Sepasang highells menghias kaki putihnya. Tiada
henti mataku menatap ke arahnya. Dalam hatiku berbisik ; “Sungguh, aku melihat
Tuhan dalam dirinya..”. Dan aku di paksa berfoto berdua dengannya. Dengan
malu-malu aku mengamini permintaan itu. Dan aku yakin dia juga sama gugupnya
seperti aku. Splasssh! Sebuah cahaya di lemparkan dari sebuah lensa kamera
digital telah berhasil mengagetkan mataku dan matanya. Entah apa jadinya hasil
foto tersebut. Tiba-tiba seorang kerabat dekatku berseru; “Kalian pasangan yang
serasi..” Ahahaaa semua tertawa mendengar seruan itu. Muka kami berdua sudah
seperti kepiting merah direbus. Karena kenyataannya kami memang tidak punya
hubungan apa-apa sebatas teman dekat. Ya hanya sebatas itu. Dan semua itu
terjawab saat hari ulang tahunnya.
Satu minggu
setelah wisudaku, dia ulang tahun, menginjak umur 20. Dan kami merayakannya di
sebuah kafe tepi pantai kota ini.Setelah prosesi meniup lilin dan memotong kue
dilakukan, dengan segenap keberanian yang jauh-jauh hari aku kumpulkan hanya
untuk mengatakan beberapa patah kalimat untuk di hari itu. Aku beranikan
memegang jemari putihnya, dan mengeluarkan kotak berwarna merah yang berisi
cincin didalamnya. Dia kaget dan bersemu merah, malu.
“Aku
mencintaimu, Ka.” Kalimat itu akhirnya meluncur juga dari kekauan lidahku selama
ini. Se tetes bening menggulir di pipinya. Dia menangis dan aku merasa bersalah
karena telah mengatakannya. Tetiba suasana jadi terasa sendu, angin laut malam
mendesau seperti rintihan hati para pencinta arus cintanya terhalang sebuah Dam
besar. Malam itu aku mengerti, cintaku bertepuk sebelah tangan. “Maaf Bram, aku
tidak bisa”. Kalimat itu cukup mengungkum langit-langit perasaanku. Aku merasa
semua selesai sudah.
***
Sebuah surat
panggilan kerja dari seberang kota tiba di rumahku. Dan aku seperti menemukan
alasan pergi dari semua kegalauan ini. Hari itu juga aku mengurus semuanya,
tiket pesawat, paspor dan hal lainnya berkaitan dengan imigrasi. Dan aku pergi
tanpa memberitahunya. Setiba di bandara sebelum keberangkatan, ramai keluarga
besarku melepas kepergianku. Dan tiba-tiba seseorang yang aku kenal berlari ke
arahku, melambaikan tanganya. Dia datang membawa sepucuk surat dari siska. Dia
bilang siska tidak bisa ikut, karena tengah dalam perjalanan menuju kampungnya.
Neneknya meninggal. Tiba-tiba sebersit penyesalan mengamit perasaanku. Dan aku
penasaran tahu dari mana dia kalau aku mau pergi ke luar negeri. Aku menatap ke
arah seorang kerabat dekatku, dan dia tersenyum lebar membalas tatapanku. Ya,
aku mengangguk takzim kepadanya dan memeluknya erat.
***
Sebuah sentuhan
membuyarkan lamunanku. Dan awan yang menyerupai paras siska telah lenyap. Berganti
menjadi paras cantik pramugari yang menyentuh lembut ujung kemejaku. Reflesk
aku memegang tangan pramugari itu dan berkata;
“Siskaa…” Sang
pramugari kaget dan heran, menjawab lembut, “Maaf Pak, saya bukan siska.
Silahkan pasang kembali sabuk pengaman anda, sebentar lagi pesawat akan
mendarat”. Aku langsung minta maaf dan kebas mukaku dibuatnya. Sang pramugari
tersenyum geli.
Heii, sepertinya
aku lupa sesuatu. Ya, surat itu. Surat yang diberikan Ciko di bandara tadi.
Surat dari siska. Kemudian aku merogoh saku jasku yang sedari tadi ada
dipangkuanku. Sebuah amplop berwarna hijau muda aku temukan.
“Pergilah meraih
masa depanmu Bram. Bawa separuh hatiku kesana. Kelak jika segala sesuatunya
telah selesai, bawa kembali separuh hati itu. Dan ingat, jangan sampai lupa
jalan kembali pulang, Bram. Pulang ke kota kita.”
Pucuk dicinta
ulam pun tiba. Kupu-kupu cinta seperti tengah menari indah di kabin pesawat.
Surat ini jawabannya. Dan semacam visualisasi masa depan tergampar didepan mata.
Menuju kota harapan, tempat aku meraih masa depan dan kelak kembali ke kotaku,
menikahinya. Pujaan hatiku.
Asyik yg jadi LDR-an.
BalasHapus#ahaiiiy :D
BalasHapus