Jumat, 11 Oktober 2013

Iseng-iseng menulis



Di dalam pesawat aku menemukan jawabannya

Burung besi berkapasitas 200 orang yang tengah mengandung aku dan penumpang lainnya telah berada di ketinggian ribuan kaki, setidaknya itulah yang kudengar pengeras suara dalam pesawat. Rasa gamang berada di ketinggian masih saja menyiksaku. Jangankan di ketinggian ribuan kaki, sedangkan berada di lantai bertingkat atau di atas pohon tinggi saja aku masih gamang. Sepertinya aku benar-benar phobia ketinggian. Sampai detik ini aku belum bisa menghilangkannya. Dan syukur, cantik paras para pramugari ini sedikit membantuku menghadapi kegugupan yang sedari tadi, saat pesawat lepas landas.
Dua orang pramugari tinggi semampai berjalan di tengah dek pesawat, sambil mendorong kereta yang di atasnya pernak pernik. Seorang Ibu disebelahku tertarik membelinya. Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, menarik nafas sejenak, dan sesekali bertasbih memuji kebesaran ciptaanya yang maha indah. Lihatlah seperti ada yang iseng mengatur awan-awan itu menyerupai gundukan-gundukan bukit atau serupa cawan dimusim penghujan. Mataku takjub menatap itu semua. Dan hei! Entah kenapa salah satu awan tersebut membentuk sebuah paras manis yang sangat kukenal wajahnya. Dan paras itu kini telah tertinggal jauh dibawah ribuan kaki jaraknya. Paras manis yang menyerupai awan itu bernama Siska.  
***
Hari itu, selasa 1 November. Di sebuah toko buku terbesar di kota kami. Sebuah skenario telah dituliskan oleh raja semesta . Hari itu aku di pertemukan oleh seorang wanita berparas manis, yang aku kenal saat kami tak sengaja saling bertabrakan satu sama lain. Dan lucunya setelah buku yang kami beli jatuh ke lantai, kami sama-sama salah memungut buku tersebut. Aku memungut bukunya dan dia memungut buku ku. Dan kami tidak sadar, hingga saat antrian di kasir barulah kami sama-sama menyadari jika buku yang kami pegang sama-sama salah. Aku memegang buku tentang kesehatan, sementara dia memegang sebuah novel karangan Tere Liye. Dan kebetulan aku berdiri tepat dibelakangnya. Dia menoleh ke arahku sambil tersenyum tipis dan melambaikan buku yang ada ditangannya.
“Haloo, bukankah ini buku anda?”
“Bukankah ini juga buku anda?” Jawabku dengan balik bertanya dan menirukan gayanya.
Kami tertawa renyah dan saling menukar buku kembali. Seorang petugas kasir tersenyum menatap tingkah kami berdua. Dan resmi hari itu aku berkenalan dengan gadis itu. Namanya Siska. Ah, pucuk di cinta ulam pun tiba, malam itu kami memutuskan sama-sama jalan kaki pulang kerumah, yang kebetulan tempat tinggalku dan tempat tinggalnya berdekatan, cuma beda satu gang. Matahari sudah berada di ufuk barat, sebentar lagi senja akan menyapa. Terlihat sepasang camar berarak pulang ke sarangnya. Ah nampaknya alampun mengerti getar-getar belum bernama yang menghuni ruang hatiku ini. Entah didalam hatinya, aku tidak tahu.
Hari demi hari kami tambah dekat. Hubungan kami tidak lagi sebatas  saling menyapa lewat pesan singkat dan telfon hanya untuk sekedar bertanya sedang apa, lagi dimana, sudah makan apa belum, ah basi sekali terasa. Kami jadi sering pergi berdua, sekedar makan berdua, menikmati senja, ke pantai, atau sekedar menghabiskan waktu di toko buku favorit kami. Kebetulan di toko buku tersebut terdapat sebuah kafe kecil di lantai paling atas. Pemandangan dari sana sangatlah indah. Biasanya setelah membeli buku kami pasti langsung menuju lantai atas dan membacanya. Ah, dia tidak lagi sedang membaca buku kesehatan, tapi dia sedang membaca sebuah novel. Iseng aku bertanya padanya,
“Sejak kapan kau suka membaca novel?
“Ya sejak kenal kamulah, Bram..” jawabnya ringan.
Aku tersenyum lebar mendengar jawabannya. Dan getar halus tak bernama itu semakin dalam menyusup relung hati. Aku ingin sekali memberi nama getaran halus itu secepatnya. Tapi apakah itu layak? Baru tiga minggu berkenalan. Dan masih banyak hal yang belum aku tahu tentangnya, masa lalunya, ah tidak, bukan itu. Apalah arti masa lalu jika masa sekarang terasa lebih indah dan bermakna. Aku harus bertanya perihal statusnya saat ini. Hmm maksudku apakah saat ini dia masih sendiri? Ah bodoh sekali, tentu saja dia masih sendiri dan jelas belum bersuami. Eh bukan, maksudku apakah saat ini dia punya teman dekat pria atau punya hubungan spesial dengan seorang pria selain diriku? Ah, gede rasa sekali diriku, baru kenal sudah ngaku-ngaku teman dekatnya. Berhari-hari pertanyaan-pertanyaan tak jelas menari-nari di laman benakku. Semuanya tentu saja tentang dia. Tentang Siska. Malam-malam terasa lebih panjang dari biasanya. Ah, resah ini menggulana di dalam dada.
***
Hari itu, hari yang sangat membahagiakan dalam hidupku. Hari dimana aku resmi di wisuda dan meraih gelar sarjana. Keluarga besarku datang, dan hari itu pula aku resmi mengenalkannya ke kedua orang tua dan keluarga besarku. Dia terlihat memesona dengan gaun biru muda selutut. Sepasang highells menghias kaki putihnya. Tiada henti mataku menatap ke arahnya. Dalam hatiku berbisik ; “Sungguh, aku melihat Tuhan dalam dirinya..”. Dan aku di paksa berfoto berdua dengannya. Dengan malu-malu aku mengamini permintaan itu. Dan aku yakin dia juga sama gugupnya seperti aku. Splasssh! Sebuah cahaya di lemparkan dari sebuah lensa kamera digital telah berhasil mengagetkan mataku dan matanya. Entah apa jadinya hasil foto tersebut. Tiba-tiba seorang kerabat dekatku berseru; “Kalian pasangan yang serasi..” Ahahaaa semua tertawa mendengar seruan itu. Muka kami berdua sudah seperti kepiting merah direbus. Karena kenyataannya kami memang tidak punya hubungan apa-apa sebatas teman dekat. Ya hanya sebatas itu. Dan semua itu terjawab saat hari ulang tahunnya.
Satu minggu setelah wisudaku, dia ulang tahun, menginjak umur 20. Dan kami merayakannya di sebuah kafe tepi pantai kota ini.Setelah prosesi meniup lilin dan memotong kue dilakukan, dengan segenap keberanian yang jauh-jauh hari aku kumpulkan hanya untuk mengatakan beberapa patah kalimat untuk di hari itu. Aku beranikan memegang jemari putihnya, dan mengeluarkan kotak berwarna merah yang berisi cincin didalamnya. Dia kaget dan bersemu merah, malu.
“Aku mencintaimu, Ka.” Kalimat itu akhirnya meluncur juga dari kekauan lidahku selama ini. Se tetes bening menggulir di pipinya. Dia menangis dan aku merasa bersalah karena telah mengatakannya. Tetiba suasana jadi terasa sendu, angin laut malam mendesau seperti rintihan hati para pencinta arus cintanya terhalang sebuah Dam besar. Malam itu aku mengerti, cintaku bertepuk sebelah tangan. “Maaf Bram, aku tidak bisa”. Kalimat itu cukup mengungkum langit-langit perasaanku. Aku merasa semua selesai sudah.
***
Sebuah surat panggilan kerja dari seberang kota tiba di rumahku. Dan aku seperti menemukan alasan pergi dari semua kegalauan ini. Hari itu juga aku mengurus semuanya, tiket pesawat, paspor dan hal lainnya berkaitan dengan imigrasi. Dan aku pergi tanpa memberitahunya. Setiba di bandara sebelum keberangkatan, ramai keluarga besarku melepas kepergianku. Dan tiba-tiba seseorang yang aku kenal berlari ke arahku, melambaikan tanganya. Dia datang membawa sepucuk surat dari siska. Dia bilang siska tidak bisa ikut, karena tengah dalam perjalanan menuju kampungnya. Neneknya meninggal. Tiba-tiba sebersit penyesalan mengamit perasaanku. Dan aku penasaran tahu dari mana dia kalau aku mau pergi ke luar negeri. Aku menatap ke arah seorang kerabat dekatku, dan dia tersenyum lebar membalas tatapanku. Ya, aku mengangguk takzim kepadanya dan memeluknya erat.
***
Sebuah sentuhan membuyarkan lamunanku. Dan awan yang menyerupai paras siska telah lenyap. Berganti menjadi paras cantik pramugari yang menyentuh lembut ujung kemejaku. Reflesk aku memegang tangan pramugari itu dan berkata;
“Siskaa…” Sang pramugari kaget dan heran, menjawab lembut, “Maaf Pak, saya bukan siska. Silahkan pasang kembali sabuk pengaman anda, sebentar lagi pesawat akan mendarat”. Aku langsung minta maaf dan kebas mukaku dibuatnya. Sang pramugari tersenyum geli.
Heii, sepertinya aku lupa sesuatu. Ya, surat itu. Surat yang diberikan Ciko di bandara tadi. Surat dari siska. Kemudian aku merogoh saku jasku yang sedari tadi ada dipangkuanku. Sebuah amplop berwarna hijau muda aku temukan.
“Pergilah meraih masa depanmu Bram. Bawa separuh hatiku kesana. Kelak jika segala sesuatunya telah selesai, bawa kembali separuh hati itu. Dan ingat, jangan sampai lupa jalan kembali pulang, Bram. Pulang ke kota kita.”
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kupu-kupu cinta seperti tengah menari indah di kabin pesawat. Surat ini jawabannya. Dan semacam visualisasi masa depan tergampar didepan mata. Menuju kota harapan, tempat aku meraih masa depan dan kelak kembali ke kotaku, menikahinya. Pujaan hatiku.

2 komentar: