Ya ampun, dia tersedu. Itu artinya dia menangis. Gadis itu menangis
ketika aku membacakan tulisannya yang dia posting di blog. Aku
pastikan jika tangisannya di undang oleh inti dari cerita yang dia tulis
sendiri, bukan karena gaya berceritaku saat membacakan ulang
tulisannya. Aku jadi bingung sendiri, kenapa pula gadis itu meminta aku
membacakan tulisannya sendiri. Kenapa harus aku coba? Gaya pembacaanku
kaku, gaya berbahasaku kacau, dan aku membacanya sambil menelungkup, dan
membuat nafasku sesak dan suaraku lari kedalam perut. Dan sehabis
membacakannya aku merasa haus sangat, dan sekilas mendengar dia
tersedu-sedu, seperti sedang menyeka air mata.
Sudah, kubilang, dia menangis. Dan dia menangis bukan karena aku yang membacakan ulang tulisannya, tapi karena isi dari inti tulisannya yang membuat hatinya tersentuh, layu, lalu mengurai embun menuju tepian bola matanya. Basah. Kedua matanya basah. Aku dapat membayangkannya. Tapi aku mungkin salah satu dari sekian banyak lelaki yang nyaris tidak tahu harus berbuat apa-apa, saat mendengar tanisan dari seorang wanita, apalagi harus dihadapkan dengan mata kepala sendiri, dan sudah pasti maha bingung harus melakukan apa, selain hanya bisa diam, dan menunggu hujan di matanya reda sendiri oleh keteguhan hatinya sendiri. Tidak ada obat lain, selain hatinya sendiri. Hatinya yang bersedih dan mengundang air mata, maka hatinya pula yang akan menghentikan tangisan itu. Bukan aku, kalian, dan mereka. Tapi hatinya sendiri.
Aku membacakan tulisannya, kata-demi-kata, kalimat-demi-kalimat, kadang terpatah-patah, kadang terengah-engah, dan kadang mengeluh ingin segera menamatkan membaca tulisannya yang lumayan panjang untuk ukuran suasana hatiku malam ini. Aku sendiri sebenarnya sedang tidak enak perasaan karena sesuatu hal. Tapi aku tak dapat menolak permintaan Alina. Alina, itu namanya.
Aku dapat memahami kenapa dia menangis ketika aku membacakan tulisannya kembali, aku dapat merasakan kesedihan serupa, meskipun kadar kesedihan orang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Isi dari tulisannya adalah tentang masa lalunya yang terbilang pahit untuk gadis seumuran dia. Dan itu harus dia terima sedari kecil. Dan memang tidak mudah untuk menerima kenyataan itu. Aku sendiripun tidak serta merta yakin bisa melalui alur cerita seperti alur kehidupannya. Dia kuat.
Dia alina, seorang gadis yang kuat. Seorang gadis yang pantang menyerah, berkarakter, berprinsip, tegas dan suatu saat aku yakin dia akan menjadi inspirasi banyak orang. Sekarangpun dia telah menginspirasi diriku sendiri. Aku senang bisa menjadi temannya, mungkin juga seorang kakak/abang baginya, itupun jika dia mengakuinya. Alina, dimanapun kau berada, tetaplah menjadi diri sendiri, apapun hadangan dan rintangan yang suatu saat ingin menggiringmu ke ranah luar dirimu, tetaplah berkeyakinan dalam menjalani hidup ini, temukan jati dirimu, meski jalan yang akan kau tempuh penuh kegelapan dan badai-badai yang akan menerjang.
Tetaplah berpijak di atas pijakan kakimu sendiri. Tetaplah jadi anak yang baik, wanita yang penuh dengan obsesi-obsesi mengagumkan, tanpa harus kehilangan kendali sebagai seorang wanita yang punya kodrat alamiah.
27januari2014
Pagar Dewa, Bengkulu
Sudah, kubilang, dia menangis. Dan dia menangis bukan karena aku yang membacakan ulang tulisannya, tapi karena isi dari inti tulisannya yang membuat hatinya tersentuh, layu, lalu mengurai embun menuju tepian bola matanya. Basah. Kedua matanya basah. Aku dapat membayangkannya. Tapi aku mungkin salah satu dari sekian banyak lelaki yang nyaris tidak tahu harus berbuat apa-apa, saat mendengar tanisan dari seorang wanita, apalagi harus dihadapkan dengan mata kepala sendiri, dan sudah pasti maha bingung harus melakukan apa, selain hanya bisa diam, dan menunggu hujan di matanya reda sendiri oleh keteguhan hatinya sendiri. Tidak ada obat lain, selain hatinya sendiri. Hatinya yang bersedih dan mengundang air mata, maka hatinya pula yang akan menghentikan tangisan itu. Bukan aku, kalian, dan mereka. Tapi hatinya sendiri.
Aku membacakan tulisannya, kata-demi-kata, kalimat-demi-kalimat, kadang terpatah-patah, kadang terengah-engah, dan kadang mengeluh ingin segera menamatkan membaca tulisannya yang lumayan panjang untuk ukuran suasana hatiku malam ini. Aku sendiri sebenarnya sedang tidak enak perasaan karena sesuatu hal. Tapi aku tak dapat menolak permintaan Alina. Alina, itu namanya.
Aku dapat memahami kenapa dia menangis ketika aku membacakan tulisannya kembali, aku dapat merasakan kesedihan serupa, meskipun kadar kesedihan orang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Isi dari tulisannya adalah tentang masa lalunya yang terbilang pahit untuk gadis seumuran dia. Dan itu harus dia terima sedari kecil. Dan memang tidak mudah untuk menerima kenyataan itu. Aku sendiripun tidak serta merta yakin bisa melalui alur cerita seperti alur kehidupannya. Dia kuat.
Dia alina, seorang gadis yang kuat. Seorang gadis yang pantang menyerah, berkarakter, berprinsip, tegas dan suatu saat aku yakin dia akan menjadi inspirasi banyak orang. Sekarangpun dia telah menginspirasi diriku sendiri. Aku senang bisa menjadi temannya, mungkin juga seorang kakak/abang baginya, itupun jika dia mengakuinya. Alina, dimanapun kau berada, tetaplah menjadi diri sendiri, apapun hadangan dan rintangan yang suatu saat ingin menggiringmu ke ranah luar dirimu, tetaplah berkeyakinan dalam menjalani hidup ini, temukan jati dirimu, meski jalan yang akan kau tempuh penuh kegelapan dan badai-badai yang akan menerjang.
Tetaplah berpijak di atas pijakan kakimu sendiri. Tetaplah jadi anak yang baik, wanita yang penuh dengan obsesi-obsesi mengagumkan, tanpa harus kehilangan kendali sebagai seorang wanita yang punya kodrat alamiah.
27januari2014
Pagar Dewa, Bengkulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar