Sudah, sudahlah duhai Kekasih,
berhentilah menyimak irama detak jantungku, ini tak berkesudahan, esok kian
menjelang, malam kian tenggelam, hanya kita yang masih terjaga menikmati
sisa-sisa pergumulan rasa, rebahkan kepalamu didadaku ini Kekasih, pejamkan mata
indahmu itu, biarkan rambutmu tergerai lepas di ranjang hasrat ini, aku sedia
menjaga nyala api cinta kita, meskipun sang embun nanti hendak mendinginkannya,
tapi apalah daya, aku tengah dimabuk cinta, semata nyala, gemeletuk gigi
membentuk irama, kau rebah, aku memilah, di pagi yang mana kita memulainya
lagi?
Sehangat napasmu mengalir, membuat
gigil detak jantungku ini, Kekasih, kemana hendak kusembunyikan gelegak rasa
ini, jika bukan pada riuh-rendah serak-basah gemuruh hasratmu yang seperti
hendak memecah sunyi di gelanggang sukma lara, tempat para insan terbakar
gelora api cinta asmara.
Kecupan kita berdua, Kekasih, ada
diantara dua bibir dunia, tak mengenal perantara, jarak terhapuskan gelora, ada
gemetar kusimpan dibalik pegunungan rasa, kita tak berdaya, melawan apa-apa
yang menjadi penanda seusai kita bersenggama. Dan pagi buta adalah saksi
terakhirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar