Rabu, 20 Agustus 2014

Mata Cinta Ibu

Setiap kali Ibu bercerita tentang Bapak, aku selalu berusaha pura-pura tidak menyimak,
padahal dalam hati kuperhatikan seksama. Bukan apa-apa, aku hanya tak ingin terlihat
cengeng dihadapan Ibu, karena setiap kali teringat Bapak naluri keharuanku membumbung
tinggi menyelimuti kedua mataku, dan aku tak ingin terlihat sembab dimuka Ibu. Saat Ibu
bercerita biasanya aku hanya mengangguk takzim, sesekali menimpali, dan lebih banyak
jadi pendengar yang baik. Biasanya Ibu menceritakan hal-hal yang sudah aku ketahui dan
sudah pernah diceritakan sebelumnya. Mungkin Ibu lupa. Maklum saja, Ibu sudah mulai tua.

Sesekali saat Ibu bercerita, aku mencuri-curi pandang ke muka Ibu, dan kulihat mata Ibu
mulai merah, dan kedua bola matanya tampak berkaca-kaca. Tidak. Air mata itu tidak
tumpah. Entah dimana Ibu menyembunyikan air matanya saat itu. Mungkin Ibu telah
menyediakan tempat khusus untuk airmatanya, agar tidak mudah tumpah saat didepan anak-anak
nya. AH, mata itu, mata seorang Istri yang kehilangan pasangan hidupnya, sekaligus mata
seorang Ibu yang tegar, sabar, dan tak pernah menyerah melanjutkan hidup bersama ketujuh
anaknya.

Mata itu, mata Ibu. Dan aku ingin ikut tenggelam dalam pusaran tatapan teduhnya. Duhai, Ibu.
(20 Juli 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar